Sebuah catatan renungan untuk diri sendiri dan anak istri kelak
Beberapa hari terakhir, saya sedang dilanda kekhawatiran dan kebingungan. Bahkan, sampai membuat tidur malam saya tidak nyenyak. Ada semacam pikiran yang berdengung di kepala dan hati.
Bermula dari pro kontra transaksi pembelian rumah di Solo, rumah yang akan dijual oleh alm. papah dan Mamah. Sejak dahulu, mereka sudah saya anggap seperti keluarga sendiri, pun begitu sebaliknya. Maka, transaksi ini juga menurutku masuk ke transaksi jual beli keluarga.
Kalau disuruh milih, lebih baik jual beli dengan orang lain daripada keluarga. Pasti akan ada rasa sungkan dan tidak enak hati. Inilah yang membuat pergulatan batin dalam diri saya.
Allah telah berfirman bahwa segala hal yang dimiliki makhluknya adalah semata titipan dan pasti kepemilikan sejati milik Dia.
Harta benda, keluarga, hidup mati, takdir,
segala hal adalah kepunyaan Allah SWT. Dari konteks ini, saya sungguh mengimani dan percaya. Namun, yang membuat pergolakan batin adalah kan yang usaha saya, kenapa orang lain harus ikut menikmati? Kalau dia mau ya harusnya mereka juga berusaha?Itu dari diri saya pribadi. Kalau dari pihak lain adalah jangan-jangan kamu bakal ditipu harta bendamu atau kamu dirugikan dengan transaksi ini? Karena kesepakatan awal adalah seperti ini namun tiba-tiba berubah menjadi kesepakatan yang baru?
Ini patut dicurigai.
Astaghfirullah, Ya Allah ampuni segala kesalahan hamba.
Ca, mas minta tolong untuk bantu memikirkan hal yang pelik ini. Hal yang setiap orang meyakini jika Harta, Tahta, Wanita adalah ujian terberat namun sedikit sekali orang yang mampu mengatasi cobaan ini.
Saya merenung. Berdoa. Bercerita. Meminta masukan. Meminta pendapat dan tanggapan. Paling utama juga adalah tanggapan dan kata-kata penenang dari Ica, calon istriku.
Izinkan saya mengurai pemikiranku dalam tulisan ini mengenai logika rezeki dan harta.
Tadi malam saya bertanya pada Ica, menurutmu, apakah semua orang termasuk kita akan ikhlas jika harta yang kita miliki diambil semua oleh Allah?
Jawabnya, tentu tidak, ikhlas sih bisa tapi tidak akan secepat dan semudah itu.
Kebiasaan saya, yang mungkin tidak biasa bagi orang lain, saat menghadapi persoalan sulit adalah tiba-tiba seperti memerankan tokoh Nabi Muhammad dengan segala teladannya, atau tokoh ulama zaman dahulu yang terkenal kebijaksanaannya.
Berkat buku Muhammad, tulisan Tasaro GK (Buku yang dipinjam dari ayang Ica) dan buku Seri Filsafat-Diskusi-diskusi Seputar Filsafat, tulisan Mohammad Toha, saya sedikit bisa meneladani dan memahami sikap dan perilaku Nabi.
Selama hidupnya, Nabi Muhammad adalah seorang yang rela mengorbankan setiap harta bendanya untuk kepentingan umat. Bahkan, saat sholat, para jamaahnya mendengar suara seperti tulang bergemeretak seperti Nabi sedang sakit. Namun ternyata, beliau sedang mengganjal perutnya dengan kerikil karena lapar. Padahal dia Rasul, jika dia berkata lapar pun pasti semua umatnya akan memberinya, appaun. Namun apa yang dikatakan Rasulullah, sungguh, Ia tidak mau menjadi pemimpin yang memberatkan hambanya.
Kalau memang harta harus dimiliki dan dibela mati-matian oleh manusia, mengapa Nabi Muhammad sampai rela menahan lapar?
Contoh lain, ulama di tanah air, Sunan Kalijogo, yang menurut cerita populer berani mempertaruhkan harga dirinya untuk menolong orang yang tidak mampu meski dengan mencuri lumbung makanan kerajaan? Padahal ia bisa saja mendermakan secukupnya saja, dan ia bisa menyimpan untuk dirinya sendiri dan keluarganya? Kalau pun mau membantu, ya sedikit aja, secukupnya saja, begitu pikiran orang normal.
Masih jauh dari logikaku sampai saat ini. Hidup sekarang serba duid. Kalau gak punya duid, mana bisa kecukupan.
Kalau dilihat dari tokoh diatas, dengan kerelaan dan keikhlasannya atas harta bendanya untuk orang lain, mereka menjadi tokoh besar dan diangkat derajadnya oleh Allah yang bahkan harta benda sebesar apapun tidak akan bisa membelinya.
Benar, sejak dulu bahkan uang itu bukan budaya manusia jawa, Indonesia. Kita hanya mengenal sistem barter dimana kita hanya memiliki apa yang kita butuhkan saat itu.
Apa pikiranku sekarang sudah terbalik dan malah terbalakang dari pemikiran nenek moyang zaman dahulu? Semua adalah milik Allah dan harta benda tidak memiliki arti apapun jika kamu tidak memiliki ketenangan. Misal kamu disuruh memilih harta disumbangkan atau diberikan kepada orang yang tidak mampu tapi derajad kamu akan diangkat oleh Allah atau kamu memilih hartamu kamu simpan sendiri, barangkali kamu akan cukup dengan harta yang kamu tumpuk tapi justru derajad yang Allah akan berikan padamu tidak jadi ia berikan karena kamu lebih memilih harta dunia?
Ilmuku masih jauh dari kata cukup dan pemikiranku masih sangat jauh. Maka, saya harus belajar terus. Menemukan hakikat dan prinsip hidup. Mengingat-ingat ujian Harta, Tahta, Wanita.
Setidaknya dengan menulis ini, bisa jadi bahan pemikiranku untuk beberapa tahun selanjutnya dan bahkan menjadi pengingatku sampai akhir.
Semoga saya dan keluarga selalu mendapat perlindungan dan ditunjukkan jalan terbaik oleh Allah SWT.
Tangerang Timur, 10.49 WIB
Asistensi Kepala Kanwil
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny