Saya kemarin selesai menamatkan buku Bumi Manusia yang pertama terbit tahun 1975. Buku ini saya pinjam dari calon istri saya, Anisa. Saya menamatkan buku ini selama 5 hari dengan memanfaatkan sela-sela waktu pulang bekerja. Awalnya saya pikir buku ini berisi filsafat-filsafat dan kata-kata mutiara atau ide-ide pendobrak revolusi yang membuat buku ini sempat dilarang edar jaman Pak Harto.
Buku ini saya baca. Halaman awal saya masih belum menemukan semangat membaca. Belum ada ketertarikan hati untuk melanjutkan sampai akhir. Lalu, karena saya ingin berubah menjadi orang yang rajin membaca, saya paksa diri saya untuk menamatkan buku ini.
Poto dari Mizanstore.com |
Magis. 1/3 buku sudah saya baca, muncul semacam getaran-getaran aneh yang menjalar.
Jarang sekali saya membaca buku yang membuat bulu kuduk merinding. Kata-kata yang disusun oleh Pak Pramoedya seakan membuat saya terhipnotis, masuk ke "pedalaman kalbu"nya sendiri.
Saya mulai berkata kepada Ica, panggilan untuk Anisa, bahwa buku ini sangat bagus dan saya mengutarakan ucapan terima kasih saya lagi untuk 2 buku lainnya yang akan saya tamatkan. Dia menjawab dengan senyum manja dan memikat.
Dalam buku ini sangat jelas bahwa perkiraan saya salah, meski tidak semua. Niat awal hanya penasaran dan ingin membudayakan membaca berubah menjadi antusiasme yang tinggi. Buku ini menceritakan Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, Robert Mellema dan Anaknya. Bunda dan banyak tokoh lain seperti Jean Marais, dsb yang selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup dan dikemas dengan pemikiran-pemikiran Pak Pram yang jenius di jamannya.
Betapa, pendapat saya, Pak Pram ingin menggambarkan bahwa apa yang kita pelajari baik belum tentu menurut pandangan orang juga baik. Semua ada sudut pandang. Maka, penekanan yang paling utama dalam buku ini adalah "sebagai kaum terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran".
Pemikiran Pak Pram dituangkan secara jelas, gamblang dan berisi dengan didukung oleh latar yang lain. Nampaknya, Pak Pram menulis ini dengan keadaan diri yang tenang dan wening. Watak tokoh dan latar disampaikan Pak Pram secara halus namun menusuk. Seorang "Nyai" yang menggambarkan pengucilan dapat memiliki pemikiran yang jenius dan teguh, Minke, seorang terpelajar yang benar-benar digambarkan menghadapi persoalan dengan menunjukkan kasta terpelajarnya, dan Bunda yang digambarkan sebagai sosok Ibu Jawa yang halus dan adiluhung dengan akar budaya jawanya, Annelies dengan sikapnya yang manja, serta tokoh-tokoh lain digamberkan secara komplek dan memiliki perannya masing-masing.
Saya menyoroti tentang keanekaragaman budaya yang ditonjolkan Pak Pram, budaya Eropa dan budaya Lokal. Sepintar-pintar apapun kita dalam mempelajari dan bergaul dalam budaya Eropa, tetap harus ingat bahwa kita memilki budaya sendiri. Siapa yang sudah membacanya pasti merasakan hal yang sama dengan yang saya rasakan saat ini.
Gagasan ini tiba-tiba meresap ke diri saya dan tak alang membuat Anisa marah. Saya mengatakan kepadanya, tanpa bermaksud melukainya, "kalau seseorang tidak tahu asal usulnya, budayanya sendiri dan malah meragukan ada tidaknya budaya sendiri yang baik yang bisa dipelajari itu tandanya orang pandir".
Sedemikian magisnya buku ini yang membuat saya secara tidak sadar mengglorifikasi kebanggaan budaya sendiri dan tiba-tiba menyalahkan orang lain karena ia belum paham?
Sampai dititik ini saya menyesal. Haruskah saya menyalahkan buku Bumi Manusia?
Dia benar-benar marah. Seharian. Tanpa kabar. Tanpa mau membalas segala rayuan dan bujukan dan permintaan maafku.
Pak Pram, mengapa kau tulis sesuatu yang sangat megah di hatiku?
Saya kemudian berpikir, mencerna segalanya. Isi buku, jawaban Anisa dan segala hal yang saya tahu. Kemudian sesuatu menyadarkan saya.
"Budaya adalah pondasi hidup. Apa yang dimaksud budaya adalah segala hal yang baik, yang menjadi pedoman dalam hidup secara turun temurun, dan menjadi sesuatu yang sangat dijunjung."
Saya ternyata telah salah mengartikan maksud Pak Pram dan salah dalam menilai Anisa. Maaf sayang. Jka kamu baca ini, aku bisa katakan bahwa kamu sungguh berbudaya dari hatimu dengan segala tingkah lakumu, kesopananmu, etikamu, wawasanmu dan segala hal yang sesungguhnya budaya jawa telah mengakar kuat di dalam dirimu sebagai pembentuk sikap dan tingkah lau. Justru aku sendiri yang hanya tahu luarnya namun merasa paling pintar dan meninggalkan akar yang harusnya aku pahami. Justru aku yang pandir.
Dikuatkan dalam cerita pak Pram bahwaia secara kompleks menggambarkan sudut pandang baik dan buruk setiap budaya.
Saya sudah menemukan kesimpulan dalam hal ini. Terim kasih.
NB: Sekarang kita sudah saling minta maaf. Tahu salah masing-masing karena memang begitu yang harus dilakukan. Saling mengalah dan saling mengerti. Begitulah cinta. Lalu, dia minta tetralogi Pulau Buru sebagai hadiah mas kawin. Baiklah.
Serang, 09.37 WIB
Keadaan kerjaan sudah selesai semua dan rehat sejenak untuk melatih kemampuan menulis. Semoga suatu saat saya bisa menulis sebuah riset dan jurnal ilmiah untuk instansiku tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar