Hujan Turun Dengan Santun Seperti Makna Pada Kata Yang Tersimpan Rahasia.

Kamis, 05 April 2018

Wasiat Ibu

Tujuh hari setelah kematian ibunya, Malik terlihat sangat murungg. Bukan hanya karena perempuan satu-satunya yang ia cinta sudah meninggalkanya, namun juga ia memikirkan bagaimana melunasi semua uang yang dipinjam untuk mengurus pemakaman ibunya. Malik gelisah, kata ibunya yang seorang guru ngaji, hutang itu dibawa mati, jadi ia takut ibunya tak tenang di akhirat.

Di sebuah desa yang masih rindang dengan pohon-pohon mangga yang berjajar di pinggir jalan, berdirilah sebuah bangunan kecil berdinding bata polos tanpa cat maupun keramik untuk membuatnya sedikit layak disebut rumah. Meski begitu, kehangatan keluarga sangat terpancar di dalamnya. Malik yang saat ini sudah berumur 20 tahun, hanya hidup berdua dengan ibunya, seorang guru ngaji. Bapaknya sudah meninggal saat ia berumur 15 tahun karena dikeroyok satpam komplek saat hendak mencuri di wilayah itu. Bapak Malik seorang
pencuri. Begitu yang dikatakan semua warga di lingkungan komplek yang bersebelahan dengan desa Malik. namun tidak bagi warga desa. Bagi mereka, Bapaknya bukanlah maling melainkan seorang pahlawan sosial yang tak pernah hilang jasanya bagi warga desa. Ia bukan maling biasa. Jika harus disamakan dengan tokoh fiksi, ia adalah jelmaan Robin Hood di dunia nyata.

Dulu, keadaan kampung begitu makmur dan sejahtera. Tak ada satupun warga yang kelaparan dan hidup miskin. Tanah kosong milik pemerintah menjadi ladang pertanian yang sangat subur ditanam apa saja, bisa dikatakan pondasi ekonomi warga  ditopang oleh tanah itu. Kesepakatan ganjil pemerintah dengan konglomerat membuat tanah harus diratakan, tumbuh-tumbuhan dibabat tanpa ada kompensasi dan tembok-tembok dibangun dengan pagar beton menjulang mengelilingi komplek perumahan tersebut. Pintu masuknya terpampang jelas tulisan bergaya Italia "KOMPLEKS PERMAI HIJAU".

Lambat laun warga desa jatuh miskin karena untuk mencari pekerjaan lain, keterampilan yang mereka miliki hanya bercocok tanam. Merasakan ketimpangan yang jauh dan ketidakadilan yang dirasakan warga, bapak Malik tampil dengan nekat menjadi pencuri. Sasaran utamanya adalah "wilayah komplek" dengan keyakinan menciptakan keadilan sekaligus mengambil kompensasi tanaman yang digusur dulu meskipun dengan cara "dicuri". Hasil curiannya, ia bagikan ke para warga untuk memperbaiki hidup. Hampir tak ada satu warga pun yang menolak pemberiannya karena setuju dengan pemikiran Bapak Malik kecuali istrinya, Ibu Malik. Istrinya menolak menerima uang hasil curian suaminya meskipun sudah berulang kali ia dibujuk dan dijelaskan buntut perkaranya, tapi tetap saja, mencuri adalah mencuri dan Tuhan tidak pernah ridho pada semua hal yang didapat dari mencuri.

Di pagi hari yang masih berselimut kabut, Malik merenung di teras rumahnya. Pergolakan hatinya sudah berkecamuk sejak malam. Tuhan Maha Adil dan Pemaaf. Kata-kata yang senantiasa terngiang di lubuk hatinya. Kalimat itu diucapkan bapaknya kepada ibunya dan Malik sebelum meninggal.


bersambung......








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menunggu Senja Turun Dengan Santun