Senja mulai menampakkan keanggunannya.
Kelap
kelip lampu Pasar Malam terasa meriah dan semarak di alun-alun desa.
Sudah sejak lama, desa kami tidak kedatangan hiburan meriah ini. Selain
itu, hiburan ini kerap sekali disamakan dengan keadaan rakyat ya karena
murah. Tak ada biaya uang masuk, hanya membayar tiket wahana. Itu pun
paling mahal hanya 10ribu. Pasar malam kali ini, tumpah ruah oleh banyak
pengunjung yang mengantri untuk menikmati wahana permainan. Ada komedi
putar, mandi bola,lempar bola, kapal goyang bahkan ada juga otok (judi
dadu).
"Ah, meriah sekali pasar malam ini" batinku.
Sambil sesekali melirik pasangan muda-mudi yang berjalan berduaan.
Seketika, kulihat disebelah kiri pasangan itu, berjongkok seorang
perempuan paruh baya, berumur sekitar 50an menurutku. Tatapan nanarnya
seperti jagung yang tengah ia bakar, membara. Beruntung sekali ia,
perutku nampaknya mulai tergoda untuk mencicipi jagung yang tengah ia
bakar. Aku pun mendekati ibu-ibu penjual jagung tersebut.
"
Ibu, saya mau pesan jagung, satu saja. Dibakar jangan terlalu matang,
dengan sedikit margarin, bumbunya tolong diolesi kecap terlebih dahulu
lantas dioles saus baru setelah beberapa saat dioles kecap lagi. Maaf,
saya kurang suka makanan pedas" pesanku pada si ibu penjual jagung bakar
"
Ah, pilihanmu rumit sekali, Nak. Baiklah ibu usahakan tapi tidak janji
bisa sesuai pesananmu soalnya banyak pula orang yang sudah memesan
jagung ini " jawab ia dengan nada datar
"Tidak rumit lah itu bu, hanya soal rasa dan pilihan " balasku sambil tertawa
"
Bukan maksud ibu mengecilkan pilihan mu tapi bukankah Tuhan menciptakan
makhluknya dengan sederhana saja? " seketika ia mulai menghentikan
kipasan jagung bakarnya
Tertarik dengan percakapan ini, aku mulai duduk berhadapan dengannya.
"
Maksud ibu bagaimana, oh Tuhan tidak sesederhana itu menciptakan
makhluknya, manusia ini rumit lo bu " jawabnya dengan penasaran
"
Pikirannya saja yang rumit, Nak. Pikiran manusia itu, ya seperti kamu
ini (dan ibu) sungguh rumit. Padahal jika dipikir-pikir, jika kita minta
yang sederhana saja, nampak semua yang datang akan sungguh luar biasa.
Jangan kau ingkari hal-hal yang sederhana itu" kata ibu tersebut
" Ini hanya masalah jagung, bukan masalah yang lain. " jawabku agak kesal
"
Hal kecil seperti itu akan merembet pada hal-hal yang besar, Nak. 20
tahun sudah aku menyesal akan hal itu, tidak mensyukuri kesederhanaan.
20 tahun sudahaku terpuruk pada keinginan tinggi yang mengalahkan
nurani. Tuhan, telah menghukumku karena tak pernah mencintai
kesederhanaan " nada jawaban ibu itu tampak bergetar
" Maaf bu, tapi nampaknya saya masih kurang paham dengan yang ibu maksudkan" jawabku penuh selidik
" Ah sudah sudah, lupakan, ini jagungmu sudah matang. Ibu bakar sesuai pesananmu" dengan menyodorkan jagung hasil bakarannya.
Terpaksa
harus ku akhiri percakapan malam itu, lalu dengan merogoh kocek 5ribu,
kubayar jagung bakar tersebut. Pikiranku masih melayang, mencoba
menyelami maksud kata-katanya. Malam semakin larut, tak terasa wahana
akan mulai tutup. Jagung yang aku beli belum sempat aku makan sehingga
kuputuskan untuk dibawa pulang.
Sesampainya dirumah,
ibuku menyanyai tentenganku sepulang dari pasar malam. Sesegera
kuberikankan jagung bakar rasa "istimewa" dari genggamanku.
" Halah, jagung kok rasanya aneh. Kamu beli dimana? " tanya ibu
" Masa bu? aku beli di tukang jagung bakar yang penjualnya ibu-ibu di sebelah kanan pintu masuk " jawabku
"
Ditempat Bu Harmi? Ya ndak mungkin, Bu Harmi itu suda lama jualan
jagung kok, paling enak sekecamatan ini. Tapi sayang, ia ditinggal pergi
oleh anak-anaknya yang ia pilihkan sendiri untuk dinikahkan dengan
juragan kaya. Kasihan dia " jawab ibu dengan menyodorkan balik jagung
bakar pesanan " istimewa " ku.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar