Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SMP. Saat jam istirahat tiba-tiba saya dan teman saya dipanggil Bu Lusi, guru kesenian lulusan ISI Surakarta.
"Ilham, kamu saya tunjuk untuk ikut lomba tari se-Kabupaten Boyolali. Mulai hari ini setiap sore pulang sekolah, kamu wajib ikut latihan sama Mas Eko. Pelatih tari senior yang mumpuni dari Solo. Disiapkan ya".
Saat itu saya sungguh kaget. Selama ini sejak TK hingga SD dan di lingkungan rumah, belum pernah belajar tari tradisional. Bukan malah takut, saya menjadi sangat antusias. Saya akan mempelajari hal-hal baru yang sedikit-sedikit bersinggungan dengan cita-cita masa SD yaitu Dalang.
Pertama kali saya melihat tarian adalah saat nikahan tetangga saya. Sejak itu saya takjub dengan tarian tradisional. Kesempatan ini seperti berkah yang harus saya manfaatkan sebaik mungkin.
Tari yang akan saya tampilkan di perlombaan ini adalah Tari Prawiro Watang. Sebuah tarian gagah dengan hentakan dan ritme yang tap-tap-tap, berwibawa namun sopan.
Prawiro Watang adalah salah satu tarian Jawa gaya Surakarta yang ditarikan oleh laki-laki. Bisa secara kelompok atau tarian tunggal. Prawiro artinya perwira (prajurit), dan watang adalah semacam galah yang terbuat dari kayu ringan sepanjang kira-kira 2 m yang ujungnya diberi gombyok warna merah putih. Menggambarkan bendera bangsa Indonesia. Baca selengkapnya...
Saya dengan teman saya sekelas, sebut saja Soni, berlatih tiap sore. Kami diajari gerakan yang patah-patah, belajar ritme, belajar posisi, belajar keseimbangan, belajar komposisi dan kerjasama.
Namun, ada hal yang saya tangkap selain teori-teori praktis dalam menari. Saya menangkap sebuah filosofi bahwa tarian tradisional membentuk batin saya dalam menghayati setiap kehidupan. Gerakan-gerakan yang saya hayati seperti merasuk dan mewakili kehidupan saya sehari-hari.
Banyak lagi hal yang sulit saya ungkapkan. Hanya ada kebanggaan setelah merasakan sensasi menari tradisional. Sejak itu saya mulai berkeinginan untuk masuk jurusan tari di ISI (Institut Seni Indonesia).
Perlombaan dimulai pagi-pagi di aula SMP 1 Teras. Kami mendapat nomor urut 12. Rasa deg-degan, hasil latihan dan komitmen awal akan dibuktikan saat perlombaan ini. Kami mulai dipanggil, diatas panggung, musik mulai dimainkan. Kami dengan khidmat dan fokus mengikuti alunan musik. 8 menit berlalu dan kami memberikan gerakan terakhir dengan formasi salam penutupan dan setelah itu tepuk tangan meriah muncul diantara penonton dan juri. Kami puas dan bangga, apa yang kami latih akhirnya tertuai. Kami tidak peduli akan juara berapa, tepuk tangan yang diberikan sudah memberikan kepuasan dan kebanggaan kami.
Setelah semua peserta tampil, pengumuan juara disebutkan. Juara 3 dari SMP Negeri 1 Ampel, Juara 1 dari SMP Negeri 1 Boyolali dan kami mendapat juara 2, SMP Negeri 1 Banyudono.
Alhamdulillah beribu syukur kami panjatkan dan terimakasih pada Bu Lusi dan Mas Eko yang sudah melatih kami. Kenangan yang manis.
Serang, Jumat 14 Agustus 2020 ditengah-tengah rapat kerja jam 10.00 pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar