Hujan Turun Dengan Santun Seperti Makna Pada Kata Yang Tersimpan Rahasia.

Rabu, 18 April 2018

Realita Migas Indonesia

Siang ini di sela-sela kebosanan di kamar kos, saya tertarik untuk melanjutkan cerita yang kutulis Jumat lalu perihal bisnis hulu migas di Indonesia. Di tangan saya sudah terbuka halaman 1 dari buku ASPEK FISKAL BISNIS HULU MIGAS terbitan Nagamedia. Buku ini merupakan kumpulan analisis dan kajian para peneliti di Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal.

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil migas di dunia. Bahkan Indonesia pernah menjadi negara yang amat disegani di OPEC. Berderet-deret nama orang Indonesia telah menjabat sebagai Sekjen OPEC antara lain: Prof. M. Sadli (1976), Prof.Dr.Subroto (1980),
IB Sujana (1997) dan Prof. Dr. Purnomo Yusgiantoro (2004). Hal ini tentu telah menjadi prestasi sendiri yang sangat membanggakan.

Namun beggitulah sifat sejarah, ia hanya mau abadi untuk dikenang, tidak untuk selamanya dibanggakan. Saat ini indonesia bukan lagi negara eksportir melainkan negara importir yang sangat besar. Anjloknya lifting minyak Indonesia dimuali pada tahun 2013.

sumber: http://www.indexmundi.com/energy/?country=id
 Produksi minyak mentah Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1997 dengan tingkat produksi melebihi 1,6juta barrel per hari. Capaian ini lantas menurun ke angka 1,5juta barel per hari untuk kurun waktu 1980-1998. Setelah itu mengalami tendensi penurunan secara terus menerus hingga level 785ribu barrel per hari di tahun 2005. Penurunan produksi ini tidak dibarengi dengan penurunan konsumsi tetapi alah sebaliknya. Konsumsi minyak dalam negeri terus meroket sehingga jumlah produksi dan konsumsi sangat berbanding terbalik.

Konsumsi minyak yang tinggi di Indonesia mengindikasikan beberapa hal (1)minyak masih menjadi sumber utama energi nasional. Program konversi minyak bumi ke gas masih belum maksimal selain itu belum ditunjukkannya perkembangan yang maksimal maslah energi terbarukan.(2)Indonesia merupakan negara yang sangat generous memberikan subsidi BBM. Padahal pernyataan bahwa Indonesia sebagai negara kaya minyak dipertanyakan (A. Rinto Pudyantoro, 2013). Indonesia diperkirakan hanya memiliki 1% (satu persen) cadangan minyak bumi dunia.

Sebagai konsekuensi atas kondisi tersebut, maka statistik neraca ekspor-impor minyak Indonesia mulai mengalami defisit pada tahun 2003. Nilai impor minyak yang tinggi tidak hanya berakibat padasubsidi BBM yang semakin besar dalam APBN (sebagai konsekuensi kurs dan harga yang semakin mahal), namun juga memberikan konstribusi kepada defisit neraca perdagangan pada tahun 2012 untuk pertama kalinya dan hingga kini.

Sebetulnya, Indonesia telah memiliki Roadmap Bauran Nasional di Perpres No. 5 Tahun 2006 dan telah diperbarui dengan PP No. 79 Tahun 2014. Roadmap ini berisi arah kebijakan energi nasional agar Indonesia tetap memiliki ketahanan energi yang baik, antara lain dengan mengurasi porsi ketergantungan atas energi minyak dan melakukan diversifikasi energi dengan pengembangan energi baru dan energi terbarukan (EBT). Indonesia menargetkan bahwa pada tahun 2025 Bauran Energi Nasional terdiri atas 30% batubara, 22% gas, 23% EBT dan menyisakan 25% Minyak. Walau demikian, hingga tahun 2015 kontribusi minyak dalam Bauran Energi Nasional masih relatif tinggi, 41%. Sementyara kontribusi EBT masih relatif rendah, hanya 10,7%.Masih dibutuhkan kerja keras untuk pengembangan EBT, walau pun sekali lagi Indonesia memiliki potensi sumberdaya EBT yang relatif besar (Hasan et al., 2012)




Banyak pihak yang pesimis target Bauran Energi untuk energi terbarukan tersebut dapat tercapai. IEA 2015 dalam laporannya menyatakan bahwa kebijakan energy mix  perlu didukung kebijakan sektoral antar kementerian. Selain itu, perlu adanya kooordinasi yang jelas antara para pembuat kebijakan baik pada tingkat nasional serta pemerintah daerah.


Dikutip dari Buku Aspek Fiskal Bisnis Hulu Migas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menunggu Senja Turun Dengan Santun