Hujan Turun Dengan Santun Seperti Makna Pada Kata Yang Tersimpan Rahasia.

Rabu, 10 Januari 2018

Sepatu Pak Min

Pak Min, seorang perantauan yang telah lama hidup di sebuah desa yang kecil di ujung pulau Sumatera, berjalan tunduk di kolong rumahnya.

Padahal saat itu masih pagi, matahari belum "tungul-tungul" menunjukkan cerahnya. Warga desa juga masih ribut di dalam rumah, kaum ibu-ibu sedang memasak di dapur, dan anak-ansk sedang antri mandi untuk segera berangkat sekolah.

Pak Min masih saja menunduk, berjalan mengelilingi rumahnya.

" Sepatu mung siji, kok hilang. Sebentar, sebentar, kemarin itu aku taruh dimana ya, seingatku tak taruh di deket lumpang (re: penumbuk). " gerutu Pak Min

Setengah jam sudah Pak Min mencari, datanglah keponakannya yang setiap pagi mengantarkan makanan untuk Pak Min karena ia tak punya istri.

" Pados nopo to pakdhe? Pagi-pagi sudah kasak-kusuk. Ini saya bawa sarapan, sayurnya oblok-oblok metir, tempe dan sambel trasi. Monggo dhahar rumiyin." kata ponakan Pak Min sembari naik tangga, masuk ke rumah pakdhenya.

Merasa perutnya sudah lapar, ia memutuskan untuk sarapan dulu, nanti dilanjutkan lagi.

" ini lho le, pakdhe sedang mencari sepatu buat ke ladang. Lhawong cuman sepatu itu saja, satu-satunya, kenang-kenangan dari desa kita, Wonosari tahun 1985, kok ya bisa-bisanya ketlisut. Mau beli yang baru ndak ada duit."  keluh Pak Min pada ponakannya.

" Sudah pakdhe, nanti dicari lagi, barangkali lupa naruh. Silahkan sarapan dulu" jawab ponakan Pak Man.

" Pakdhe kira transmigrasi itu enak. Apa-apa gampang, nyari uang mudah. Meski tanah disini luas, tapi sulit mau menjual hasil taninya. Buktinya, sepatu yang sejak dulu dipakai, sampai sekarang hanya itu saja andalannya buat dipakai nyangkul, nyabit, nyari kayu dan pekerjaan apapun di ladang.  " keluh Pak Min

" Namanya juga hidup, pakdhe, segalanya ada proses. Kita tidak bisa langsung menghakimi sesuatu dari sudut pandang kita saja. Bukankah ini sudah keputusan pakdhe untuk ikut transmigrasi ? Kita harus terus bersemangat untuk memajukan daerah ini. Ingat pakdhe, Gusti Allah tidak akan merubah suatu kaum jika hanya mampu berkeluh kesah, bukan berusaha merubah nasibnya dengan bekerja. Tenang, Kalem, Kuasai" jawab ponakannya.

" Masih muda tapi sudah bijaksana kamu le, hebat-hebat anak muda sekarang. Banyak belajar dari pengalaman juga ternyata. Wes, aku tak makan dulu. Tolong bantu cari sepatuku juga ya" jawab Pak Min

Dengan sigap, ponakan Pak Min langsung turun tangga dan mencari sepatu pakdhenya.

" Lha ini sepatunya disini pakdhe, disamping alu. Lhawong sepatu ndak pernah dirawat, dicuci, makanya jadi coklat begini. Pakdhe kan sudah tua, matanya mulai rabun, jadi warna coklat kesamar di balik alu dan tanah yang sama-sama coklat (tertawa). Apapun itu harus kita rawat, biar awet, ndak buru-buru emosi, dari masalah pribadi bisa merembet ke masalah negara. Ingat pakdhe, TENANG, KALEM, KUASAI. " kata ponakannya dengan santun dan tersenyum

" Hahaha, waduh, kalah aku sama kamu. Oke tak ingat baik-baik omonganmu itu, TENANG, KALEM, KUASAI " jawab Pak Min sambil tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menunggu Senja Turun Dengan Santun