Hujan Turun Dengan Santun Seperti Makna Pada Kata Yang Tersimpan Rahasia.

Rabu, 21 Desember 2016

Kidung Dhandanggula dan Warisan Kemerdekaan dari Pendahulu untuk Generasi Penerus Bangsa



Suasana siang itu begitu panas menyengat. Teriknya sinar mentari khas Surakarta yang begitu terang dan juga membakar kulit. Dua anak SD tengah berlomba-lomba di jalan yang kecil itu, mengayuh sepeda mereka secepat yang mereka bisa.
            “Ayo Mas kita cepet-cepetan sampe ke rumah ahahaha,”tawa seorang anak perempuan, berusaha sekuat tenaga mengayuh sepeda tua keluaran tahun ‘80an pemberian kakeknya (“Sepeda ini kakek dapatkan sebagai hadiah lomba 17 Agustusan waktu kakek masih kerja dulu lho, Mez...hehehe”).
            “Oops maaf Mba, tapi aku sampe duluan hahaha”
            “Aa curaang! Sepedanya mas ‘kan sepeda keluaran terbaru!”protes anak itu kepada kakak sepupunya.
            Bocah berumur sepuluh tahun itu menjulurkan lidahnya.
            “Yang duluan sampe dapet es krim paling banyaak~ Ahahaha”
            Kedua bocah itu akhirnya sampai di rumah. Hembusan angin sejuk seolah menyapa kedatangan dua murid SD kelas enam itu. Keduanya menuntun sepeda  melewati jalan kecil di samping rumah kakek-nenek mereka. Daun-daun pohon Sawo yang kecokelatan bertaburan di udara. Kelontongan bambu yang digantung di beranda rumah berbunyi tang-klung-tong-klung-klong seakan mengabari penghuni rumah yang lain kalau kedua anak itu sudah pulang.
            “ASSALAMUALAIKUM!!!”teriak keduanya bersemangat begitu mereka masuk lewat pintu belakang.
            “Waalaikumsalam,”jawab kedua suara dari rumah.
            Wangi rendang begitu semerbak dari dapur yang terletak di bagian belakang rumah. “Asyiiik nenek masak rendang! Yeees!”
            “Alhamdulillah!”
            Kedua bocah kelewat hiperaktif itu mengintip dari jendela dapur yang terbuka. Mimpi apa kita semalem sampai bisa dapat lauk rendang untuk makan siang? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
            “Eeh...Meiz sama Baskoro udah pulang...”kata Nenek. “Sana ditaruh dulu tasnya, sekalian ganti baju”
            “Gimana tadi sekolahnya, lhe, nduk?”tanya Kakek.
            “Rizky numpahin bekel nasi kuning Babas!”ratap Baskoro sembari menaruh tasnya.
            “Habis itu Mbak Mez berantem deh sama Rizky. Pukul-pukulan”
            Kakek membenarkan kacamatanya untuk melihat dengan jelas. Rambut cucu perempuannya yang pendek berantakan karena habis dijambak dan ada ruam merah kebiruan di wajahnya: bekas pukulan.

            “Itu karena Rizky rakus dan pengen ngehabisin bekel Mas Bas. Awalnya Mez cuma ngasih tau aja. Tapi dia mukul kepala Mez duluan. Ya udah dibales balik aja. Hahaha,”tawa gadis berusia sebelas tahun itu dengan renyah.
            Rambutnya dipotong pendek dan sosoknya tinggi dan langsing. Namun sorot matanya tegas dan ia cukup kuat untuk membuat seseorang di usianya babak belur dengan tinjunya. Sekilas, jika dilihat ia mirip anak laki-laki. Hanya saja ia memakai rok panjang dibawah lutut.
            “Kenapa kalian engga lapor ke guru aja?”tanya kakek.
            “Bakal rumit, Kek. Yang ada kita yang bakal dihukum. Ga adil deh pokoknya. Enaknya diselesaikan sendiri aja,”jawab gadis itu bandel seraya mengepalkan tinjunya.
            “Hahaha serius amat ceritanya,”kata Nenek seraya membawa baki berisikan semangkuk rendang dan empat piring makan dari dapur.
            “Nek, Mba Mez tadi tonjok-tonjokan. Tuh mukanya rada bonyok,”ucap Baskoro lirih. Mata hitam bulatnya berkaca-kaca.
            Nenek segera meletakkan baki di atas meja dan segera memeriksa wajah cucu tertuanya itu. Pandangannya lalu fokus pada memar samar yang ada di pipi kiri gadis itu.
            Nenek berkata lewat sorot matanya. ‘Apa yang terjadi?’
            Dan gadis itu menjelaskan semuanya. Bagaimana Rizky si tukang biang onar di kelas hendak menghabiskan bekal milik kakak sepupunya. Gadis itu memperingatkan kalau makanan itu milik kakaknya, bagaimanapun juga. Tapi anak laki-laki itu malah marah, menumpahkan semua sisa nasi kuning yang tersisa, lalu memukul kepalanya. Kesal, gadis itu memukul balik.
            “Ya allah, neng...sampe kayak gini...,”kata nenek sembari memegangi wajah gadis itu (karena ia tidak mau diam selama neneknya mengoleskan salep pada memarnya).
            “Oww!”gadis itu berjengit
            “Nah...sudah selesai. Besok kalian ujian apa?”
            “Terima kasih, Nek! Hm...apa eh mas? Aku lupa. Hahaha”
            “Kesenian daerah sama kerajinan tangan, Mba”
            “Hmm...oh iya...”
            “Kerajinan tangan sama kesenian daerah, Eyang...kalo kerajinan tangannya sih udah buat dari kemaren...itu yang buat ukiran dari sabun batang hahaha...lagian soalnya udah dikasih dari minggu sebelumnya juga sih...kalo emang dikerjain dua jam aja mana cukup...”kata Baskoro.
            “Lagunya tentang apa?”
            “Satu tembang macapat, terus yang satu tembang dolanan, eyang...macapat-nya yang engga tahu...apa tadi namanya...oh iya. Dhandanggula, Kek ”
            “Iya Kek...kelihatannya sulit...tadi Pak Guru hendak mengajari kelas kami...tapi karena waktunya tidak cukup, maka kami hanya mempelajari tembang dolanan saja tadi”
            “Kakek, sehabis les nanti, mohon ajari kami ya!”pinta Baskoro
            “Iya kek...iya! Biar kita dapet nilai bagus~ Hahaha”
             Waktu pun berlalu dimana sang surya mulai bersinar kuning-oranye di ufuk barat sana. Malam kini menebarkan mantel hitam legamnya nan gemerlap di langit. Bintang-bintang bersinar begitu indahnya.
            Angin sepoi-sepoi membunyikan kelontongan yang tergantung di depan rumah, dimana dedaunan kering pohon Sawo menari mengikuti irama indah yang berbunyi tang-klung-tong-klong-klung-klang-klung
            “Yogyanira kang para prajurit.
            lamun bisa samya anulada,
            kadya nguni caritane,
            andelira sang Prabu,
            Sasrabau ing Maespati,
            aran Patih Suwanda,
            lalabuhanipun,
            kang ginelung tri prakara,
            guna kaya purunne kang denantepi,
            nuhoni trah utama”
            Suara bariton Kakek yang merdu berhasil menghipnotis kami. Kami sukses dibuat terpana mendengar irama dan syair lagu Dhandanggula yang sarat akan nilai-nilai moral.
            Sesudahnya, kami pun dilatih oleh kakek dan menghapalkan lagu itu untuk ujian besoknya. Setelah kakek merasa bahwa kami mulai menguasai Dhandanggula, barulah beliau mulai berceritera:
            “Lagu ini adalah bagian dari serat tripama yang dibuat oleh K. G. P. A. A. Mangkunagara IV, lhe, nduk...”terang Kakek. Mata kelabunya bersinar penuh sayang saat menjelaskan mengenai sejarah ini kepada kami.
            “Mangkunagara? Berarti rumah beliau di Pura Mangkunegaran dong, Kek!”ujar Baskoro dengan polos.
            “Haha...iya, lhe. Tapi itu dulu sekali. Lagu ini menceritakan tentang Patih Suwanda yang mengabdi kepada Prabu Arjuna Sasrabahu di Maespati sana. Patih ini terkenal akan kepandaian, kemampuan, dan juga keberaniannya,”terang kakek.
            “Oh! Kakaknya Bambang Sukasrana, iya kan, Kek? Kasihan Sukasrana! Dia ‘kan ngintil kakaknya terus karena dia sayang sama kakaknya. Dia bahkan membantu kakaknya supaya bisa jadi patih dengan kesaktiannya. Tapi, akhirnya...dia mati karena kakaknya sendiri; walaupun sebetulnya Bambang Sumantri-itu namanya Suwanda dulu sebelum diangkat menjadi patih-tidak bermaksud demikian,”kataku.
            “Mbak baca dari mana? Kayak perpus berjalan aja,”ledek Baskoro usil.
            “Buku SMP-nya Ayahku, Mas. Hahaha. Judulnya Tiga Suri Teladan,”terang gadis itu senang, mengabaikan ledekannya.
            “Wah...bagus nduk...Bas, contohlah mbakmu ini...setidaknya bacalah buku, supaya pengetahuanmu bertambah”
            “Kalo engga ada gambarnya engga seru, Kek,”kata Baskoro sembari cemberut, seolah berkata, ‘Jangankan buku pewayangan. Buku pelajaran yang engga ada gambarnya aja aku males bacanya!’.
            Kakek tertawa. “Walaupun begitu, kalian sebagai pelajar wajib menunaikan tugas kalian, baik itu untuk belajar maupun untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bapak maupun Ibu Guru di sekolah...Kakek dulu mau sekolah aja sulit sekali. Segitu saja bisa masuk HIS karena suaminya budenya kakek seorang Belanda yang bekerja untuk KNIL”
Zaman dulu, hanya anak-anak yang berasal dari kalangan mampu, pegawai negeri, keturunan bangsawan, dan mereka yang dianggap berasal dari keluarga elit dan baik-baik oleh Belanda, diperbolehkan bersekolah di Hollandsch-Inlandshe School (HIS), yang tentu saja menggunakan Belanda sebagai bahasa pengantarnya.
Mendengar kata KNIL, kedua pasang bola mata bocah-bocah itu membulat.  “Kalau begitu...kakek bisa bahasa Belanda, dong!”
“Iya, nduk. Begitulah,”kata beliau sembari tersenyum hangat.
“Waah...keren!”
“Dulu uyut sibuk menghimpun dana perjuangan. Kakek pernah melihat uyut putri sedang mengubur peti berisi gulden di dekat sumur. Katanya, uang yang ada didalamnya dipakai untuk memerdekakan bangsa kita, Indonesia”
Lagi, kedua pasang mata bening itu membulat. “Waah...keren! Kita berasal dari keluarga pejuang lho, walau tidak langsung, mbak!”kata Baskoro bahagia, yang disambut dengan high five bersemangat dari kakak sepupunya.
“Bahkan, Eyang Tarno masuk ke dalam Korps Tentara Pelajar (TP) Surakarta,”kenang Kakek. “Kakek juga ingin sekali ikut bergabung di dalamnya. Tapi Mas bilang kalau itu berbahaya dan kakek lebih baik membantu ibu dan bude saja”
Disini yang dimaksud oleh kakek adalah kakak pertamanya, Soetarno, seorang anggota TP yang turut berjuang dalam melawan Belanda pada agresi militer Belanda di Solo, lama berselang. Kakek pun mulai berkisah.
Soetarno dan kedua orang rekannya tengah menjalani sebuah misi. Ketiganya tengah menyamar dan berkendara menggunakan andong. Senjata mereka disembunyikan dibalik sarung yang mereka pakai.
Lihat orang-orang belanda di tengah jembatan itu. Mereka melempar-lemparkan roti seperti itu...benar-benar tidak bersyukur
“Seharusnya mereka berjaga. Tapi baguslah dengan begitu mereka tidak mencurigai keberadaan kita”
“Misi kita adalah merebut jembatan ini. Kita harus bisa menyelesaikannya”
“Siap”
Ketiganya berucap menggunakan Bahasa Jawa. Suasana tegang, namun ketiga anggota tentara pelajar itu cukup handal dalam mengatasi hal ini berkat gemblengan dan pelatihan di kawah candradimuka-istilah yang kerap dipakai oleh para pelatih dari kalangan militer untuk tempat latihan rekrut baru bahkan hingga saat ini.
Serdadu-serdadu Belanda, yang sama mudanya dengan mereka itu, bahkan tidak mencurigai mereka ketika andong itu mendekat. Seseorang mulai mengeluarkan senapannya, dan mulai membidik.
Dor!
            Senyuman yang ada di serdadu itu tergantikan dengan ekspresi kaget. Binar pun menghilang dari kedua matanya: tanda bahwa ruhnya sudah tidak bersama dengan jasadnya lagi.
Inlander!”seru teman-temannya.
            Ketiganya pun terlibat di dalam baku tembak, yang mana pada akhirnya jembatan tersebut (beliau tidak menyebutkan secara spesifiknya jembatan mana) berhasil mereka duduki dan para pejuang dari luar daerah pun mendapat kemudahan untuk masuk dan keluar dari Solo.
            “Ada kisah menarik dibaliknya,”terang kakek.
            “Orang tua serdadu yang ditembak mati oleh kawannya Mas Tarno lalu datang ke Indonesia. Mereka tidak terima anak satu-satunya meninggal. Maka penembak anak mereka, pejuang TP itu, diangkat anak dan dibawa ke Belanda, dididik di sana. Kata mereka, kamu harus menjadi pengganti anak kami
            Kedua bocah itu kembali melongo. Bisa gitu, yak?
            Kakek tertawa. “Terkadang perang punya kisah-kisah unik yang jarang diketahui, lhe, nduk...lalu pernah juga, saat itu serombongan KNIL berniat mengsweeping kediaman bude. Ngeri juga, lihat Belanda yang tinggi besar membawa senjata seperti itu...”kenang Kakek.
            “Orang-orang itu mendapat intel bahwa sekelompok pejuang TP bersembunyi di rumahnya-seseorang membocorkan rahasia ini pada Belanda demi mendapatkan sepeser Gulden untuk informasi yang sangat berharga”
            “Sampah,”kata Baskoro dengan jijik.
            “Lalu, bagaimana cara beliau untuk menghalau mereka, Kek?”tanyaku penasaran.
            “Bude bilang dalam Bahasa Belanda, ‘Bagaimana mungkin ada sekelompok TP bersembunyi di rumah kami? Jika memang demikian, tentunya suamiku akan melaporkannya langsung kepada atasannya, bukan?’ Serdadu-serdadu itu pun saling bertukar pandang dan akhirnya tidak jadi melakukan penggeledahan”
            “Wuih...untung sekali ya, Kek...”
            “Iya...ngeri banget...life and death situation
            “Lagu Dhandanggula yang telah kalian pelajari itu berisi petuah, tidak hanya untuk para prajurit saja, tetapi juga kepada semua orang, termasuk yang masih kecil seperti Mez dan Baskoro, supaya hidup dengan mengamalkan ketiga sifat utama yang seyogyanya dimiliki oleh para ksatria: pandai, mampu, dan berani”
            Ada begitu banyak hal yang kami pelajari dari kakek pada malam itu, baik budaya maupun sejarah dan yang terutama, mengenai kehidupan. Dengan mengamalkan kebudayaan lokal dan berjuang keras memberikan yang terbaik pada bangsa ini, sebagai tanda terima kasih untuk para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan dan memajukan Indonesia.

Penulis : Paxia Meiz Lorentz

Menunggu Senja Turun Dengan Santun