Suasana
siang itu begitu panas menyengat. Teriknya sinar mentari khas Surakarta yang
begitu terang dan juga membakar kulit. Dua anak SD tengah berlomba-lomba di
jalan yang kecil itu, mengayuh sepeda mereka secepat yang mereka bisa.
“Ayo Mas kita cepet-cepetan sampe ke
rumah ahahaha,”tawa seorang anak perempuan, berusaha sekuat tenaga mengayuh
sepeda tua keluaran tahun ‘80an pemberian kakeknya (“Sepeda ini kakek dapatkan
sebagai hadiah lomba 17 Agustusan waktu kakek masih kerja dulu lho,
Mez...hehehe”).
“Oops maaf Mba, tapi aku sampe duluan hahaha”
“Aa curaang! Sepedanya mas ‘kan
sepeda keluaran terbaru!”protes anak itu kepada kakak sepupunya.
Bocah berumur sepuluh tahun itu
menjulurkan lidahnya.
“Yang duluan sampe dapet es krim paling banyaak~ Ahahaha”
Kedua bocah itu akhirnya sampai di
rumah. Hembusan angin sejuk seolah menyapa kedatangan dua murid SD kelas enam itu.
Keduanya menuntun sepeda melewati jalan
kecil di samping rumah kakek-nenek mereka. Daun-daun pohon Sawo yang
kecokelatan bertaburan di udara. Kelontongan bambu yang digantung di beranda
rumah berbunyi tang-klung-tong-klung-klong
seakan mengabari penghuni rumah yang lain kalau kedua anak itu sudah
pulang.
“ASSALAMUALAIKUM!!!”teriak keduanya
bersemangat begitu mereka masuk lewat pintu belakang.
“Waalaikumsalam,”jawab kedua suara
dari rumah.
Wangi rendang begitu semerbak dari
dapur yang terletak di bagian belakang rumah. “Asyiiik nenek masak rendang!
Yeees!”
“Alhamdulillah!”
Kedua bocah kelewat hiperaktif itu
mengintip dari jendela dapur yang terbuka. Mimpi apa kita semalem sampai bisa
dapat lauk rendang untuk makan siang? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang
engkau dustakan?
“Eeh...Meiz sama Baskoro udah
pulang...”kata Nenek. “Sana ditaruh dulu tasnya, sekalian ganti baju”
“Gimana tadi sekolahnya, lhe, nduk?”tanya
Kakek.
“Rizky numpahin bekel nasi kuning
Babas!”ratap Baskoro sembari menaruh tasnya.
“Habis itu Mbak Mez berantem deh
sama Rizky. Pukul-pukulan”
Kakek membenarkan kacamatanya untuk
melihat dengan jelas. Rambut cucu perempuannya yang pendek berantakan karena
habis dijambak dan ada ruam merah kebiruan di wajahnya: bekas pukulan.
“Itu karena Rizky rakus dan pengen
ngehabisin bekel Mas Bas. Awalnya Mez
cuma ngasih tau aja. Tapi dia mukul kepala Mez duluan. Ya udah dibales balik
aja. Hahaha,”tawa gadis berusia sebelas tahun itu dengan renyah.
Rambutnya dipotong pendek dan
sosoknya tinggi dan langsing. Namun sorot matanya tegas dan ia cukup kuat untuk
membuat seseorang di usianya babak belur dengan tinjunya. Sekilas, jika dilihat
ia mirip anak laki-laki. Hanya saja ia memakai rok panjang dibawah lutut.
“Kenapa kalian engga lapor ke guru
aja?”tanya kakek.
“Bakal rumit, Kek. Yang ada kita
yang bakal dihukum. Ga adil deh pokoknya. Enaknya diselesaikan sendiri
aja,”jawab gadis itu bandel seraya mengepalkan tinjunya.
“Hahaha serius amat ceritanya,”kata
Nenek seraya membawa baki berisikan semangkuk rendang dan empat piring makan
dari dapur.
“Nek, Mba Mez tadi tonjok-tonjokan.
Tuh mukanya rada bonyok,”ucap Baskoro lirih. Mata hitam bulatnya berkaca-kaca.
Nenek segera meletakkan baki di atas
meja dan segera memeriksa wajah cucu tertuanya itu. Pandangannya lalu fokus
pada memar samar yang ada di pipi kiri gadis itu.
Nenek berkata lewat sorot matanya.
‘Apa yang terjadi?’
Dan gadis itu menjelaskan semuanya.
Bagaimana Rizky si tukang biang onar di kelas hendak menghabiskan bekal milik
kakak sepupunya. Gadis itu memperingatkan kalau makanan itu milik kakaknya,
bagaimanapun juga. Tapi anak laki-laki itu malah marah, menumpahkan semua sisa
nasi kuning yang tersisa, lalu memukul kepalanya. Kesal, gadis itu memukul
balik.
“Ya allah, neng...sampe kayak gini...,”kata nenek sembari memegangi wajah
gadis itu (karena ia tidak mau diam selama neneknya mengoleskan salep pada
memarnya).
“Oww!”gadis itu berjengit
“Nah...sudah selesai. Besok kalian
ujian apa?”
“Terima kasih, Nek! Hm...apa eh mas?
Aku lupa. Hahaha”
“Kesenian daerah sama kerajinan
tangan, Mba”
“Hmm...oh iya...”
“Kerajinan tangan sama kesenian
daerah, Eyang...kalo kerajinan tangannya sih udah buat dari kemaren...itu yang
buat ukiran dari sabun batang hahaha...lagian soalnya udah dikasih dari minggu
sebelumnya juga sih...kalo emang dikerjain dua jam aja mana cukup...”kata
Baskoro.
“Lagunya tentang apa?”
“Satu tembang macapat, terus yang
satu tembang dolanan, eyang...macapat-nya yang engga tahu...apa tadi
namanya...oh iya. Dhandanggula, Kek ”
“Iya Kek...kelihatannya sulit...tadi
Pak Guru hendak mengajari kelas kami...tapi karena waktunya tidak cukup, maka
kami hanya mempelajari tembang dolanan saja tadi”
“Kakek, sehabis les nanti, mohon
ajari kami ya!”pinta Baskoro
“Iya kek...iya! Biar kita dapet
nilai bagus~ Hahaha”
Waktu pun berlalu dimana sang surya mulai
bersinar kuning-oranye di ufuk barat sana. Malam kini menebarkan mantel hitam
legamnya nan gemerlap di langit. Bintang-bintang bersinar begitu indahnya.
Angin sepoi-sepoi membunyikan
kelontongan yang tergantung di depan rumah, dimana dedaunan kering pohon Sawo
menari mengikuti irama indah yang berbunyi tang-klung-tong-klong-klung-klang-klung
“Yogyanira
kang para prajurit.
lamun
bisa samya anulada,
kadya
nguni caritane,
andelira
sang Prabu,
Sasrabau
ing Maespati,
aran
Patih Suwanda,
lalabuhanipun,
kang
ginelung tri prakara,
guna
kaya purunne kang denantepi,
nuhoni
trah utama”
Suara bariton Kakek yang merdu
berhasil menghipnotis kami. Kami sukses dibuat terpana mendengar irama dan
syair lagu Dhandanggula yang sarat akan nilai-nilai moral.
Sesudahnya, kami pun dilatih oleh
kakek dan menghapalkan lagu itu untuk ujian besoknya. Setelah kakek merasa
bahwa kami mulai menguasai Dhandanggula, barulah beliau mulai berceritera:
“Lagu ini adalah bagian dari serat tripama yang dibuat oleh K. G. P.
A. A. Mangkunagara IV, lhe, nduk...”terang Kakek. Mata kelabunya
bersinar penuh sayang saat menjelaskan mengenai sejarah ini kepada kami.
“Mangkunagara? Berarti rumah beliau
di Pura Mangkunegaran dong, Kek!”ujar Baskoro dengan polos.
“Haha...iya, lhe. Tapi itu dulu sekali. Lagu ini menceritakan tentang Patih
Suwanda yang mengabdi kepada Prabu Arjuna Sasrabahu di Maespati sana. Patih ini
terkenal akan kepandaian, kemampuan, dan juga keberaniannya,”terang kakek.
“Oh! Kakaknya Bambang Sukasrana, iya
kan, Kek? Kasihan Sukasrana! Dia ‘kan ngintil
kakaknya terus karena dia sayang sama kakaknya. Dia bahkan membantu kakaknya
supaya bisa jadi patih dengan kesaktiannya. Tapi, akhirnya...dia mati karena
kakaknya sendiri; walaupun sebetulnya Bambang Sumantri-itu namanya Suwanda dulu
sebelum diangkat menjadi patih-tidak bermaksud demikian,”kataku.
“Mbak baca dari mana? Kayak perpus
berjalan aja,”ledek Baskoro usil.
“Buku SMP-nya Ayahku, Mas. Hahaha.
Judulnya Tiga Suri Teladan,”terang
gadis itu senang, mengabaikan ledekannya.
“Wah...bagus nduk...Bas, contohlah mbakmu ini...setidaknya bacalah buku, supaya
pengetahuanmu bertambah”
“Kalo engga ada gambarnya engga
seru, Kek,”kata Baskoro sembari cemberut, seolah berkata, ‘Jangankan buku
pewayangan. Buku pelajaran yang engga
ada gambarnya aja aku males bacanya!’.
Kakek tertawa. “Walaupun begitu,
kalian sebagai pelajar wajib menunaikan tugas kalian, baik itu untuk belajar
maupun untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bapak maupun Ibu Guru di
sekolah...Kakek dulu mau sekolah aja sulit sekali. Segitu saja bisa masuk HIS
karena suaminya budenya kakek seorang Belanda yang bekerja untuk KNIL”
Zaman
dulu, hanya anak-anak yang berasal dari kalangan mampu, pegawai negeri,
keturunan bangsawan, dan mereka yang dianggap berasal dari keluarga elit dan
baik-baik oleh Belanda, diperbolehkan bersekolah di Hollandsch-Inlandshe School (HIS), yang tentu saja menggunakan
Belanda sebagai bahasa pengantarnya.
Mendengar
kata KNIL, kedua pasang bola mata bocah-bocah itu membulat. “Kalau begitu...kakek bisa bahasa Belanda,
dong!”
“Iya,
nduk. Begitulah,”kata beliau sembari
tersenyum hangat.
“Waah...keren!”
“Dulu
uyut sibuk menghimpun dana perjuangan. Kakek pernah melihat uyut putri sedang
mengubur peti berisi gulden di dekat sumur. Katanya, uang yang ada didalamnya
dipakai untuk memerdekakan bangsa kita, Indonesia”
Lagi,
kedua pasang mata bening itu membulat. “Waah...keren! Kita berasal dari
keluarga pejuang lho, walau tidak langsung, mbak!”kata
Baskoro bahagia, yang disambut dengan high
five bersemangat dari kakak sepupunya.
“Bahkan,
Eyang Tarno masuk ke dalam Korps Tentara Pelajar (TP) Surakarta,”kenang Kakek.
“Kakek juga ingin sekali ikut bergabung di dalamnya. Tapi Mas bilang kalau itu
berbahaya dan kakek lebih baik membantu ibu dan bude saja”
Disini
yang dimaksud oleh kakek adalah kakak pertamanya, Soetarno, seorang anggota TP
yang turut berjuang dalam melawan Belanda pada agresi militer Belanda di Solo,
lama berselang. Kakek pun mulai berkisah.
Soetarno
dan kedua orang rekannya tengah menjalani sebuah misi. Ketiganya tengah
menyamar dan berkendara menggunakan andong. Senjata mereka disembunyikan
dibalik sarung yang mereka pakai.
“Lihat orang-orang belanda di tengah jembatan
itu. Mereka melempar-lemparkan roti seperti itu...benar-benar tidak bersyukur”
“Seharusnya mereka
berjaga. Tapi baguslah dengan begitu mereka tidak mencurigai keberadaan kita”
“Misi kita adalah
merebut jembatan ini. Kita harus bisa menyelesaikannya”
“Siap”
Ketiganya
berucap menggunakan Bahasa Jawa. Suasana tegang, namun ketiga anggota tentara
pelajar itu cukup handal dalam mengatasi hal ini berkat gemblengan dan
pelatihan di kawah candradimuka-istilah yang kerap dipakai oleh para pelatih
dari kalangan militer untuk tempat latihan rekrut baru bahkan hingga saat ini.
Serdadu-serdadu
Belanda, yang sama mudanya dengan mereka itu, bahkan tidak mencurigai mereka
ketika andong itu mendekat. Seseorang mulai mengeluarkan senapannya, dan mulai
membidik.
Dor!
Senyuman yang ada di serdadu itu
tergantikan dengan ekspresi kaget. Binar pun menghilang dari kedua matanya:
tanda bahwa ruhnya sudah tidak bersama dengan jasadnya lagi.
“Inlander!”seru teman-temannya.
Ketiganya pun terlibat di dalam baku
tembak, yang mana pada akhirnya jembatan tersebut (beliau tidak menyebutkan
secara spesifiknya jembatan mana) berhasil mereka duduki dan para pejuang dari
luar daerah pun mendapat kemudahan untuk masuk dan keluar dari Solo.
“Ada kisah menarik
dibaliknya,”terang kakek.
“Orang tua serdadu yang ditembak
mati oleh kawannya Mas Tarno lalu datang ke Indonesia. Mereka tidak terima anak
satu-satunya meninggal. Maka penembak anak mereka, pejuang TP itu, diangkat
anak dan dibawa ke Belanda, dididik di sana. Kata mereka, kamu harus menjadi pengganti anak kami”
Kedua bocah itu kembali melongo.
Bisa gitu, yak?
Kakek tertawa. “Terkadang perang
punya kisah-kisah unik yang jarang diketahui, lhe, nduk...lalu pernah juga,
saat itu serombongan KNIL berniat mengsweeping kediaman bude. Ngeri juga, lihat
Belanda yang tinggi besar membawa senjata seperti itu...”kenang Kakek.
“Orang-orang itu mendapat intel
bahwa sekelompok pejuang TP bersembunyi di rumahnya-seseorang membocorkan
rahasia ini pada Belanda demi mendapatkan sepeser Gulden untuk informasi yang
sangat berharga”
“Sampah,”kata Baskoro dengan jijik.
“Lalu, bagaimana cara beliau untuk
menghalau mereka, Kek?”tanyaku penasaran.
“Bude bilang dalam Bahasa Belanda, ‘Bagaimana
mungkin ada sekelompok TP bersembunyi di rumah kami? Jika memang demikian,
tentunya suamiku akan melaporkannya langsung kepada atasannya, bukan?’
Serdadu-serdadu itu pun saling bertukar pandang dan akhirnya tidak jadi
melakukan penggeledahan”
“Wuih...untung sekali ya, Kek...”
“Iya...ngeri banget...life and death situation”
“Lagu Dhandanggula yang telah kalian
pelajari itu berisi petuah, tidak hanya untuk para prajurit saja, tetapi juga
kepada semua orang, termasuk yang masih kecil seperti Mez dan Baskoro, supaya
hidup dengan mengamalkan ketiga sifat utama yang seyogyanya dimiliki oleh para
ksatria: pandai, mampu, dan berani”
Ada begitu banyak hal yang kami
pelajari dari kakek pada malam itu, baik budaya maupun sejarah dan yang
terutama, mengenai kehidupan. Dengan mengamalkan kebudayaan lokal dan berjuang
keras memberikan yang terbaik pada bangsa ini, sebagai tanda terima kasih untuk
para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan dan memajukan Indonesia.
Penulis : Paxia Meiz Lorentz