Oleh : Maggie tjoakin
DAHULU KALA ADALAH seorang kepala suku bernama Quaquahela. Ia hidup dalam kedamaian bersama para anggota sukunya di tepi Sungai Styx* tepat pada titik di mana sungai itu melebur dengan danau**. Kehidupan suku itu sangat sibuk dan sarat akan tradisi. Para pejuang rajin berburu dan menangkap ikan, sementara para wanita memasak dan mengurus anak-anak serta orang tua, dan semua hidup dalam kedamaian bersama alam yang mengelilingi mereka.
Suatu hari, Quaquahela memutuskan untuk pergi berkunjung ke desa suku lain yang letaknya cukup jauh dari desanya sendiri, ke arah selatan. Ia berangkat subuh-subuh, mengayuh perahu kano melintasi perairan danau, lalu berjalan kaki di tepi danau menuju pondokkan seorang teman dengan tujuan bermalam di sana sebelum ia melanjutkan perjalanannya. Belum ada satu kilometer ia berjalan meninggalkan tepian danau, ia mendengar suara binatang buas yang menggeram keras-keras, lalu seekor beruang raksasa mendadak terhuyung ke arahnya dari balik semak-semak tidak jauh dari si kepala suku.
Untungnya, Quaquahela membawa sebilah tongkat perang dan seperangkat alat berburu; namun, beruang adalah binatang pelindungnya [totem] dan oleh sebab itu adalah suatu pelanggaran tradisi baginya untuk membunuh binatang tersebut. Maka Quaquahela berlari kembali ke arah perahu kano yang ia tambatkan di tepi danau dengan tujuan untuk kabur. Tetapi, beruang itu mengayun tubuhnya ke depan dan menghantam si kepala suku hingga jatuh ke tanah.
Putus asa, Quaquahela tak punya pilihan lain kecuali bergulat dengan beruang tersebut, memukulnya berkali-kali dengan bilah tongkat perangnya, sambil terus berusaha untuk mengusirnya. Darah menodai tanah tempat mereka bergulat dari luka si kepala suku dan juga si beruang. Akhirnya, si kepala suku menghunus pisaunya dan menusuk si beruang berkali-kali di sekitar kepala dan tenggorokan hingga beruang itu mengeluarkan raungan panjang yang memekakkan telinga. Quaquahela merangkak sekuat tenaga dari bawah tubuh beruang yang menindihnya dan, beberapa saat kemudian, ia pun kolaps ke tanah. Tubuhnya terkoyak di sana-sini, dan ada beberapa tulangnya yang patah. Luka-lukanya sungguh memilukan. Dengan susah-payah, si kepala suku memiringkan tubuhnya untuk menatap sosok musuhnya yang tergeletak tanpa daya. Binatang pelindungnya. Beruang itu sudah mati. Seraya merintih penuh penyesalan dan keputus-asaan, Quaquahela pun membiarkan kepalanya tergolek jatuh ke tanah seiring dengan luka-luka yang semakin mendera. Sesaat setelah itu, ia juga mati.
Sementara itu, sahabat si kepala suku, yang tak tahu apa-apa soal rencana Quaquahela untuk menginap di gubuk kecilnya, tidak sadar bahwa telah terjadi pergulatan hebat di tepi danau hingga dua hari kemudian, ketika ia menemukan tubuh beruang besar tergeletak di sana. Perahu kano milik si kepala suku juga tertambat tidak jauh dari sana, dan ia juga menemukan bilah tongkat perang serta pisau milik si kepala suku tergeletak di dekat si beruang. Kedua benda tersebut berlumuran darah. Namun, tubuh Quaquahela tidak ditemukan di mana-mana; hanya ada jejak sekawanan serigala yang menyimpulkan bahwa si kepala suku telah diseret pergi oleh kawanan pemangsa itu. Maka sang sahabat pun memanggil sejumlah pejuang suku untuk mencari sisa-sisa anggota tubuh si kepala suku, meski tanpa hasil.
Sebulan kemudian, pada malam bulan purnama, suku Quaquahela melihat kabut aneh yang berputar-putar ke angkasa dari sisi bukit tidak jauh dari desa tempat tinggal mereka. Kabut itu mengudara layaknya asap api unggun. Malam itu langit sangat cerah dan cahaya bulan menerangi setiap pelosok desa, namun kabut aneh itu justru tampak semakin padat dan menggantung di posisi yang sama walau angin bertiup kencang dari arah pepohonan di sekitar. Para anggota suku bingung menatap kabut tersebut, dan bertanya-tanya mengapa kabut itu bisa ada di sana.
Malam itu, si kepala suku Quaquahela muncul dalam terawangan dukun desa. “Itu aku,” ujar si kepala suku, “yang muncul di antara kabut di sisi bukit. Aku telah membunuh beruang yang bertanggung-jawab atas kematianku, dan oleh sebab itu aku mendirikan sebuah pondok arwah di sisi bukit, di tempat yang kalian lihat malam ini.”
Si kepala suku berjanji kepada sang dukun desa bahwa ia akan selalu menemani para anggota suku dalam semua perjalanan mereka, guna memastikan keselamatan mereka hingga kembali kepada sanak-keluarga. Dan ia juga berkata, bila mereka meragukan kehadirannya di antara mereka, mereka cukup menoleh ke arah sisi bukit. Kabut yang terkumpul di tempat itu adalah asap yang membumbung dari pondok arwah yang ia dirikan, dan asap itu akan terus membumbung hingga menggapai puncak-puncak pepohonan tinggi. Dengan begitu, para anggota suku bisa memastikan bahwa arwahnya akan selalu ada bersama mereka selamanya. Dan bila mereka memanggilnya, ia akan menjawab panggilan itu.
Sang dukun desa menyampaikan kata-kata si kepala suku kepada semua warga desa keesokan paginya. Mendengar itu, mereka pun bersuka-cita mengetahui bahwa kepala suku mereka, Quaquahela, masih ada bersama mereka. Sebagian dari mereka berteriak dan bersenandung ke arah sisi bukit di mana pondok arwah si kepala suku berada, dan setiap teriakan serta senandung mereka dibalas dengan gema suara. Maka terawangan si dukun desa dianggap sah.
Hingga hari ini, asap yang berputar-putar seperti kabut, yang datang dari pondook arwah Quaquahela, masih sering terlihat di puncak bukit di kala cuaca hujan atau lembab. Dan siapapun yang berteriak menyapa si kepala suku akan dibalas dalam bentuk gema suara. FL
Januari 2016 © Hak cipta Fiksi Lotus. Tidak untuk ditukar, digandakan, ataupun dijual.
Sumber : www.fiksilotus.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar