Tiga puluh ribu dan lima ribu rupiah. Cuma itu. Bahkan, dua puluh ribu rupiah dari jumlah itu terdiri dari uang ribuan bernilai dua ribuan, hasil simpanannya selama ini yang didapatnya dengan mengais sisa-sisa beras yang berserakan di pasar kemudian dikumpulkannya hingga berminggu-minggu lalu dijualnya kembali dengan harga yang miring. Sudah bertahun-tahun Sulastri melakukan pekerjaan itu, untuk menghidupi kedua orang anaknya, Bono dan adiknya, Budi. Hari sudah siang, saatnya Sulastri membaringkan tubuhnya diatas kasur yang merupakan benda paling berharga di rumahnya selain sepasang sepatu pemberian almarhum suaminya. Saat ia sedang enak-enaknya membaringkan badan tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar
“Sulastri, Sulastri, lagi-lagi anakmu itu membuat ulah. Lihat, apa yang mereka lakukan dengan pot bungaku. Aku minta kau ganti” teriak Bu Ijah, tetangganya.
“Sebentar bu, ada apa ini, anak saya salah apa?” jawab Sulastri.
“Kamu itu tak bisa mendidik anak ya, mereka itu tadi aku suruh menjual semua dagangan pot bungaku dengan cara banting harga, tetapi malah mereka membanting pot bungaku. Pokoknya aku minta ganti !” kata Bu Ijah dengan marahnya.
“Astaga, maafkan anak-anakku bu, baiklah akan aku ganti rugi. Berapa semuanya bu? ” jawab Sulastri.
“Tiga puluh ribu rupiah.” Teriak Bu Ijah.
“Ini bu, uangnya. Sekali lagi maafkan kelakuan kedua anak saya” pinta Sulastri.
Habis sudah uang tiga puluh lima ribu rupiah hasil kerja kerasnya hari ini. Hanya tersisa lima ribu rupiah, tetapi untuk apa uang lima ribu rupiah? Untuk beli ikan asin saja tidak cukup. Kemudian Sulastri terdiam di kursi reot yang menghasilkan bunyi yang khas saat hendak diduduki.
Kejadian seperti itu sudah sering kali terjadi. Memang, sejak dulu kedua anak Sulastri memiliki kelainan. Dari luar mereka tampak normal-normal saja, tak ada yang aneh tetapi di balik usia 18 tahun tersebut pikiran kedua anaknya seperti anak usia 5 tahun. Pernah suatu ketika Sulastri menyuruh kedua anaknya untuk menjual pakaian bekasnya untuk ditukarkan dengan garam.
“Bono, Budi, kesini nak. Ibu minta tolong. Pergilah kalian ke pasar dan jualkan pakaian ini. Nanti uang hasil penjualannya kamu belikan garam untuk membuat ikan asin” kata Sulastri.
“Baik bu kami akan segera pergi ke pasar” jawab Bono.
Akhirnya mereka pun pergi ke pasar lalu menjual pakaian tersebut. Dari hasil penjualan pakaian tersebut mereka mendapat uang lima puluh lima ribu rupiah.
“Kak, dengan uang ini kan kita disuruh ibu untuk dibelikan garam bukan?” tanya Budi
“Iya dik, ada apa?” jawab Bono
“Kalau begitu mari kita segera belikan garam. Ibu pasti senang karena kita membawa garam yang ibu pesankan kepada kita.” Kata Budi
Kemudian mereka dengan berlari kecil menuju ke toko penjual garam. Namun tak disangka, seluruh uang tersebut dibelikan garam semuanya. alhasil mereka pulang dengan membawa setengah karung garam.
“ibu pasti senang kak melihat kita membawa garam ini kan kata ibu tadi nanti uangnya untuk membeli garam” kata Budi.
“ Hehe, benar kau dik. Nanti kita akan disanjung oleh ibu ” jawab Bono
“Tapi aku lihat, ikan yang ibu bawa dari pasar tadi pagi hanya sedikit, kalau dijual lagi jadi ikan asin tentunya tidak akan untung banyak.” Kata Budi.
Setelah berjalan cukup lama, mereka melihat sebuah sungai dengan ikan yang besar-besar. Walaupun arusnya tidak deras namun sungai itu cukup dalam.
“ kak lihat, besar sekali ikan-ikan itu. Tapi sayang dalam sekali sungai ini kak” kata Budi.
“ wah iya benar apa katamu dik, ikannya besar. Tentu kalau ibu tahu kita bisa membawa pulang ikan-ikan itu maka ibu pasti tambah senang apalagi nanti ikan asinnya akan bertambah banyak” timpal Bono.
“Tapi bagaimana caranya kak menangkap ikan-ikan itu, kalau kita tangkap dan dibuat ikan asin tentu akan memakan waktu lama. Mau makan apa kita” kata Budi.
“ Benar juga. Begini saja, kita sebar seluruh garam ini ke sungai, nanti airnya pasti jadi asin, kalau airnya asin nanti ikannya pasti akan asin juga kan, setelah itu kita pancing ikannya” kata Bono.
“iya kak benar, mari kita taburkan garam ini ke sungai” jawab Budi.
Mereka kemudian menaburkan seluruh garam tersebut ke sungai lalu meminjam kail di rumah temannya yang tak jauh dari sungai itu yang akan digunakan untuk memancing ikan-ikan di sungai tersebut. Hari menjelang sore, namun tak ada satupun ikan yang berhasil mereka tangkap. Mereka kemudian pulang ke rumah.
Sementara itu, Sulastri sedang menunggu anaknya pulang dari pasar dengan membawa sedikit garam dan sisa uang untuk digunakan membeli beras untuk mereka makan. Setelah lama menunggu akhirnya kedua anaknya pulang.
“Bono, Budi mana uang dan garam hasil penjualan pakaian tadi” tanya Sulatri
“ Tidak ada bu, uangnya habis kami belikan garam semua” jawab Bono setengah menunduk.
“Apa? Ya ampun, maksud ibu, uang hasil penjualan pakaian itu kamu belikan garam secukupnya lalu sisa uangnya kamu bawa pulang. Duh Gusti paringono sabar. Ya sudah kalau begitu, nanti garamnya bisa ibu jual atau tukar ulang dengan beras. Lalu mana garamnya?” kata Sulastri mencoba bersabar.
“ Garamnya sudah kami taburkan semua ke sungai bu, kata ibu tadi, garamnya akan digunakan untuk membuat ikan asin. Tadi garamnya kami taburkan ke sungai bu, disana banyak ikan, terus setelah garamnya ditabur nanti airnya pasti jadi asin, kalau airnya asin nanti ikannya pasti akan asin juga, setelah itu kami memancing ikannya tapi ternyata tak ada satupun yang memakan umpan kami bu ” kata Budi
Sulastri tak dapat berkata apa-apa lagi. Tiba-tiba tetes demi tetes air mata membasahi pipinya. Sulastri berkata kepada mereka bahwa mereka tak perlu takut kalau Dia akan marah (meski Sulastri sering merasa ketakutan) dan bahwa kedua anaknya bisa mengerti apa yang harus mereka logika dari setiap kata-katanya. Sulastri menghampiri kedua anaknya dan memeluk mereka. Sulastri mengecup alis mereka beberapa kali. Mereka saling merengkuh satu sama lain. Mereka kemudian bersama-sama masuk ke dalam rumah.
Nama : Ilham Zahrir
Akun Twitter : @ilhamzahr
#GASHariIbu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar