Aku tidak menyalahkan
takdir tentang kondisi yang menimpa ku. Kecelakaan dua tahun yang lalu telah
merenggut impianku. Kedua tanganku lumpuh dan aku tidak bisa berbuat apapun.
Tepatnya, aku merasa tidak dapat berbuat apapun. Hidupku seakan hancur dalam
sekejap. Saat itu hanya ada kata makian yang aku ucapkan setiap harinya. Makian
atas ketidak berdayaan diriku. Bahkan untuk makan saja aku tidak mampu
mengangkat sendok dan garpu. Mama lah yang membantuku menyuapkan nasi hingga
perutku terisi kembali.
Aku tidak mampu lagi untuk menulis. Bahkan aku
tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi jika aku kembali bersekolah.
Teman –teman mungkin akan mengejekku, atau mungkin sebaliknya. Kemungkinan-kemungkinan
yang menghantuiku setiap malam. Aku tidak berdaya, aku tidak berguna dan
rasanya ingin sekali aku mengakhiri hidupku. Suasana malam membuatku semakin
gelisah. Mendung-mendung dimalam hari terlihat lebih pekat dari biasanya. Aku
terpaku dengan tatapan kosong. Aku masih muda, aku masih SMA, dan aku tidak
dapat melakukan apapun sekarang. Besok adalah hari pertama aku masuk sekolah,
dalam keadaan cacat.
“seruni !”
Terdengar suara dibelakangku. Suara
yang membuyarkan lamunanku. Suara seseorang yang selama ini sangat aku benci.
“Ada apa Ridwan ?”, tanyaku dengan
ekspresi acuh tak acuh.
“Kenapa kamu akhir-akhir ini terlihat
murung?”, tanyanya dengan ekspresi sok peduli.
“Apa kamu nggak lihat? Aku sekarang
cacat. Ngapain kamu kesini ? kamu ingin mengejekku ? dari dulu kamu selalu
jahat ke aku. Aku tau aku jelek, kribo,
hitam, cupu dan nggak pandai
disemua mata pelajaran. Kamu datang kesini hanya untuk mengejekku ?”, ucapku
sambil menangis sejadi-jadinya.
“Seruni, maaf jika sikapku selama ini
salah ke kamu. Aku hanya iseng saja. Aku tidak bermaksud membenci kamu. Sebagai
ucapan maafku, nanti aku duduk sebangku sama kamu ya ? selama ini kamu duduk
sendirian. Lebih baik ada yang menemani. Nanti aku bantu kamu untuk mencatat
semua mata pelajaran yang diajarkan sampai tangan kamu sembuh lagi”, kata-kata
itu keluar dari mulut Ridwan dengan sangat ringan seolah aku adalah sahabat
lamanya. Entah kenapa, kali ini aku menerima tawarannya.
Sejak saat itu, Ridwan
berubah. Aku memiliki teman sebangku untuk pertama kalinya. Dia seperti sosok
malaikat baru untukku. Buku-buku pelajaranku tidak pernah kosong lagi. Selalu
dihiasi tulisan-tulisannya yang indah dan membuatku ingin selalu membacanya.
Rumus-rumus matematika tidak menakutkan lagi untukku, karena ditulis dengan
tangan ajaib. Lambat laun, perasaan benciku luntur perlahan. Jika ada teman
yang mengejekku, Ridwanlah yang membelaku.
Aku tidak lagi pernah absen mengikuti terapi,
karena setiap pulang sekolah aku selalu menemukan catatan pada sebuah kertas
merah ditas sekolahku. Kata-kata penyemangat tertulis jelas dikertas itu. Dan
aku tau pasti siapa yang menulisnya. Siapa lagi kalau bukan Ridwan teman
sebangku ku.
Aku memang tidak cantik.
Wajahku penuh jerawat dan aku merasa berbeda dari yang lain. Sebagai remaja,
ada kalanya aku minder dan pesimis. Tidak ada seorang temanpun mau menjadi
sahabatku. Perasaan dijauhi dan dicaci sungguh membuatku sedih. Aku merasa
terasing diplanet ku sendiri. Planet bumi yang aku diami seakan terlihat begitu
tak sudi menerima keadaanku. Kadang aku berimajinasi menjadi astronot, agar aku
bisa pergi jauh-jauh dari bumi dan mencari planet baru untuk aku diami seorang
diri. Pernahkah kamu menangis karena dijauhi atas kesalahan yang tidak pernah
kamu perbuat ? begitulah perasaanku. Jika ada bintang jatuh, aku selalu berdoa
agar tidak ada lagi ejekan yang ditujukan padaku, walaupun hanya sehari.
Sampai akhirnya tuhan
menjawab segala doaku. Aku percaya, apa yang terjadi padaku sekarang, bukanlah
suatu kutukan. Melainkan suatu permainan
kehidupan yang harus aku selesaikan dengan sikap optimis. Tuhan mengirimku malaikat tidak bersayap
disaat aku benar-benar hampir menyerah pada takdir. Melalui sosok Ridwan, itu
artinya Tuhan masih sangat menyayangiku. Cowok tambun yang sering jahil ke aku
secara mengejutkan berubah menjadi sosok yang humoris dan menyenangkan. Kalau
kamu tau Mario Teguh dengan salam super nya, seperti itulah sosok Ridwan dengan
wajah tebemnya. Apalagi jika dia mulai cerewet memberiku nasehat ini dan itu,
miripnya bertambah berkali-kali lipat.
“Ridwan , aku ingin
berhenti melukis”,
Aku menceritakan kepada
Ridwan tentang keinginan ku yang timbul dari keputusasaan. Keinginan untuk
berhenti melukis karena keadaan sekarang sangat tidak memungkinkan. Aku ingin
mengubur dalam-dalam mimpiku menjadi seorang pelukis profesional.
“sebelumya, aku ingin
bertanya. Apakah hanya ada satu jalan agar aku bisa pergi kerumahmu ?
“Tidak. Kamu bisa melwati
tiga jalan untuk sampai dirumahku. Kamu bisa lewat jalan utama dan juga bisa
lewat gang-gang dijalur yang berbeda”
“itu dia Seruni. Jangan
hanya terpaku pada jalan utama dan menyalahkan keterbatasan, karena jalan lain
masih setia menunggu untuk kamu lewati. Jalan utama ibaratkan mimpimu untuk
menjadi pelukis. Dan apakah kamu punya hobi lain selain melukis Seruni ?”
“ummm, aku punya hobi
bernyanyi dan menulis lagu. Tapi aku tidak yakin dengan kemampuan bernyanyiku”
“nah, bernyanyi bisa kamu
jadikan sebagai jalan lain untuk mengembangkan bakatmu. Aku yakin kamu bisa
bernyanyi dengan baik. Mulai besok sore, kita latihan dirumahku. Aku kebetulan
bisa bermain piano, dan kamu bisa berlatih bernyanyi denganku. Sebulan lagi akan
ada lomba bernyanyi disekolah, kamu harus ikut”
“Baiklah. Akan aku coba”, jawabku
dengan senyuman ter opimis. Senyum yang berasal dari virus semangat malaikat
tambunku.
Sejak itu, aku mulai
belajar bernyanyi. Jemari Ridwan dengan luwes memainkan piano. Aku ingin
membuktikan, bahwa walaupun dengan banyak keterbatasan, tapi aku masih tetap
bisa mewujudkan mimpi-mimpiku dijalanku yang lain.
Setelah menjalani
beberapa kali terapi, akhirnya lambat laun tanganku mulai ada tanda-tanda bisa
berfungsi dengan normal. Aku sangat bahagia. Walaupun perkembangannya masih
sedikit terlihat.
Ridwan selalu menanyakan perkembanganku setiap
harinya. Tanpa lelah. Sungguh mengejutkan. Aku seperti telah menemukan patner
yang baik untuk hidupku.
Nilai-nilaiku disekolah
juga semakin membaik. Catatan-catatan yang dituliskan Ridwan sangatlah
membantu. Terkadang setiap malam, Ridwan datang ke rumahku untuk belajar
bersama. Jika ada PR, dialah yang membantuku mengerjakannya dan menuliskannya
di buku PR ku karena tanganku masih belum bisa digunakan secara normal. Aku
merasa seperti gadis sempurna ketika aku mensyukuri sisa kesempurnaan yang aku
punya. Iya, aku sangat bersyukur, ada Ridwan disisiku. Hidupku terasa tidak
menjenuhkan lagi. Aku jadi semakin lupa akan mimpiku menjadi seorang astronot.
Rasanya bumi terlihat sangat cantik akhir-akhir ini.
“wah Seruni, kemampuanmu bernyanyi
semakin bagus saja. Ingat, besok jangan minum es dan jangan makanan gorengan agar kualitas suaramu
tidak terganggu. Dua hari lagi lombanya akan dimulai”, terang Ridwan dengan
nada semangat tingkat tinggi.
“Baiklah”, jawabku sambil
menganggukan kepala.
Hari itu pun tiba. Hari
dimana aku harus bernyanyi didepan ribuan manusia untuk pertama kalinya. Aku
telah berani memutar haluan mimpiku kearah gang-gang mimpi lain yang
mengejutkan . Gang mimpi yang aku lalui adalah menjadi seorang penyanyi
profesional. Gaun putih yang aku kenakan tampak serasi dengan jas hitam yang
Ridwan kenakan. Kami akan berkolaborasi dalam lomba ini. Dialah yang akan
mengiringi setiap alunan suaraku dengan musik-musik pianonya yang merdu. Kali
ini, aku menyanyikan lagu ciptaanku sendiri.
“Mendung hanyalah mendung
Ketika angin malam berbisik pada
langit
Yang ada hanyalah bintang-bintang
terang
Dan mendung akan berlalu tanpa
bertalu
Begitupun ketika kau hadir
Membawa suasana baru dalam hidupku
Menepis mendung didepan mimpiku
Dalam sekejap duniaku berubah
Dunia indah itu
Ada dalam dirimu
Malaikat hatiku”
Tepuk
tangan riuh penonton menggema setelah kami selesai membawakan lagu itu. Aku
menangis bahagia sambil melirik kearah Ridwan yang sedari tadi memperhatikanku.
Aku tidak berharap sepenuhnya untuk menang, karena tujuan utamaku adalah
memberikan penampilan terbaik hari ini.
Pengumuman
pemenang akhirnya tiba juga. Dengan senyum yang tidak juga terlihat hilang dari
wajahku, aku mendengarkan pengumuman pemenang dengan seksama. Tanpa aku duga,
kami menjadi pemenang pertama. Aku sangat bahagia. Ingin sekali rasanya aku
memeluk Ridwan karena kebahagiaan ini tentulah tak akan bisa terwujud tanpa
dukungan nya padaku.
Kejutan
belum berakhir. Tiba – tiba Ridwan menghilang. Aku panik mencarinya. Namun, aku
tertegun saat melihatnya bermain piano sambil menyanyikan lagu ciptaannya
sendiri diatas panggung. Penonton yang awal nya akan segera pulang karena acara
akan segera selesai, tiba-tiba saja enggan untuk meninggalkan tempat duduknya
masing-masing. Mereka terhanyut mendengar alunan lagu yang dimainkan Ridwan
sang malaikat tembemku.
Setelah
menyanyikan lagu itu, ridwan menghampiriku sambil membawa mahkota bunga.
Seperti dalam sebuah cerita dongeng yang sering aku imajinasikan, saat itu juga
Ridwan menyatakan perasaannya padaku.
“Seruni, aku bukan siapa-siapa. Aku
bukan pangeran dari negeri dongeng, tapi
izinkanlah aku melukiskan senyum untukmu lebih lama lagi. Dari sekarang hingga
usia senja yang akan datang. Aku tidak punya alasan, kenapa aku ingin membuatmu
tersenyum. Aku ingin kamu menjadi kekasihku. Apa kamu mau menjadi kekasihku ?”
Aku tidak mampu berkata
apa-apa. Aku benar-benar bahagia. Jika esok hari masih ada malam, aku hanya
ingin malam ini tidak cepat larut dan berlalu dengan sombong.
Ridwan meletakkan mahkota
bunga itu dikepalaku, dan saat itu juga aku menjawab
“Tapi aku cacat. Kenapa kamu mau jadi
kekasih manusia cacat sepertiku ?“
“karena aku hanya melihat
kesempurnaan dalam dirimu Seruni. Aku mencintai mu, bukan berarti aku hanya
mencintai kelebihanmu. Aku mencintaimu, itu artinya aku mecintai segala hal
yang ada pada dirimu. Maukah kamu menemaniku? Menjadi kekasihku ?
“iya, aku mau jadi kekasih mu”
Penonton seolah
terhipnotis. Seorang gadis buruk rupa yang cacat, berhasil mendapatkan lelaki
tambun yang manis. Hidup itu benar-benar sebuah anomali yang sulit dimengerti.
Dua tahun telah berlalu.
Terapi tidak lagi aku jalani karena tanganku telah sembuh. Aku sekarang kuliah
di fakultas seni musik. Bagaimana dengan Ridwan ?, dia tetaplah seperti dulu,
tidak berubah. Mungkin sekarang dia berubah lebih tampan saja. Terkadang aku
takut, saat aku membuka mata, saat itu tiba-tiba malaikat tembembku tidak mencintaiku
lagi. Tapi aku percaya, Tuhan itu maha adil.
Aku tidak lagi takut akan
kemungkinan yang belum terjadi. Aku merasa hidupku sempurna, karena aku selalu berusaha
mencintai ketidak sempurnaan. Aku akan
terus bernyanyi dan terus bermimpi. Tiga tahun lagi, mimpiku menjadi pelukis
telah aku pahat dengan jelas dalam ingatanku. Tiga tahun lagi, tepat disaat
ulang tahunku yang ke 22 tahun, aku menargetkan dapat mengikuti pameran
lukisan. Aku merasa hidup, karena ada seseorang yang mengajariku arti
mencintai. Mengajariku arti mencintai mimpi-mimpi dengan bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar