Rakyat
sebagai bagian utama dalam sebuah negara memiliki harapan besar pada
pemimpinnya untuk mewujudkan kehidupan yang makmur dan sejahtera. Lewat
antusias jalan demokrasi maupun otokrasi yang memunculkan pemimpin-pemimpin
baru dalam tangkup orde yang berbeda saling bersaing menerapkan kebijakan demi
kemakmuran rakyatnya. Namun sayangnya, harapan rakyat masih banyak yang sirna
karena janji-janji yang diumbar hanya sebatas kertas kosong tanpa tinta.
Harapan rakyat seakan dilalaikan dengan dalih berbagi kepentingan substantif.
Dewasa
ini, kita memerlukan seorang pemimpin yang tidak mudah berjanji tetapi cukup
memberi bukti di lapangan dengan pengabdian kepada masyarakat dan bangsa.
Banyak tokoh teladan yang diperlukan untuk membangun sebuah sinergi dalam
menguatkan tonggak
kepemimpinan sehingga dapat membangkitkan tekad untuk
memecahkan begitu banyak kebuntuan dengan perencanaan yang terencana dan
terukur.
Figur
teladan yang mampu merangkum cita-cita dan tujuan bangsa sesuai UUD 1945,
mengobarkan semangat dalam membangkitkan harkat martabatnya harus mendapatkan
dukungan berbagai kalangan. Kita tidak bisa menggantungkan harapan hanya kepada
seorang presiden karena sebuah negara terlalu luas, besar dan multidimensi jika
hanya dipimpin oleh satu orang, sebaik apapun orang itu memimpin. Sehingga
diperlukan sinergi yang kuat antar berbagai komponen untuk mewujudkan
pemerintahan yang sesuai.
Sayangnya,
hingga saat ini belum nampak sosok pemimpin yang mampu merangkum kebhinekaan
bangsa dan membangkitkan semangat ingin maju. Masyarakat masih mengharapkan
adanya pemimpin ideal yang mampu membawa mereka menuju kemakmuran dan
kesejahteraan. Penyebab belum munculnya pemimpin ideal ini adalah :
Pertama, perbedaan
jenis para politikus generasi 1945 dengan generasi sekarang. Suwidi Tomo (2013)
pernah menulis “......kancah politik kita banyak diisi mereka yang mengejar moonlight: hasrat kuasa, kaya, kondang,
dengan cara menerabas kepatutan. Mereka adalah jenis politisi medioker,
oportunis, miskin kapasitas dan integritas mendominasi.” Dari kacamata tersebut
tentu kita akan sepakat bahwa realitas saat ini memang benar adanya. Banyak
politisi yang hanya mengandalkan popularitas sehingga dengan ala kadarnya
berani maju menjadi calon pemimpin masyarakat. Hasilnya, target-target
pembangunan tidak tercapai dan merebak ketimpangan sosial di masyarakat.
Kedua,
masalah
instrumen demokrasi yang maju menjadi wakil rakyat kebanyakan hanya wakil
partai yang disodorkan oleh partai politik. Tatkala kondisi kepartaian saat ini
terus menimbulkan polemik berupa perselisihan, egoisme antar golongan dan
mementingkan anggota dan kelompok, mereka terus menghasilkan kader-kader calon
pemimpin. Pemenangan pun hanya mengandalkan nama besar kepartaian dengan
sokongan dana maksimal. Jika asal muasal calon pemimpin dilahirkan dari tempat
yang penuh keruwetan maka hasilnya juga akan sama saja, pemimpin lebih
mementingkan partai karena adanya ketergantungan satu sama lain.
Ketiga,
persekongkolan
antar penguasa dengan pengusaha dalam membuat kebijakan. Kebijakan yang
seharusnya pro-rakyat berubah menjadi kebijakan yang merugikan rakyat. Hal ini
dapat terlihat dari sejumlah kebijakan-kebijakan pemerintah seperti impor,
kepentingan pihak asing dan lainnya. Hal ini menimbulkan dampak dimana kaum
borjuis makin senang sementara kaum proletar semakin terhimpit dengan keadaan
yang demikian. Masyarakat yang sudah susah menjadi lebih susah
dengan adanya hal semacam ini.
Keempat,
sifat munafik dan culas yang merebak di kalangan
pemimpin. Krisis identitas dan sifat yang wajib dimiliki seorang pemimpin
membuat hilangnya makna sesungguhnya dari seorang pemimpin. Agama yang dimiliki
hanya dijadikan kedok dalam memimpin. Aksi memperkaya diri terus dilakukan
tanpa menghiraukan rakyat yang kelaparan, korupsi merajalela dan pemborosan
adalah hal yang biasa. Sikap seperti itu tidak seharusnya dimiliki oleh seorang
pemimpin.
Dari
persoalan-persoalan diatas, timbul tanda tanya besar dibenak masyarakat tentang
bagaimana sesungguhnya pemimpin ideal itu. Spekulasi dari berbagai pihak mulai
bermunculan mengenai sosok pemimpin yang didambakan oleh masyarakat. Disaat
masyarakat mulai mencari karakter dan ciri-ciri pemimpin ideal, sesungguhnya
hal ini sudah terlebih dahulu diejawantahkan dalam Filosofi Jawa.
Etnik
Jawa merupakan etnik yang memiliki naskah-naskah kuno yang ditulis oleh para leluhur
etnik jawa yang mengandung pesan-pesan pendidikan budi pekerti/ karakter kepada
keturunannya (Dwi Bambang Putut Setiyadi, 2012). Nilai-nilai teladan ini dalam
budaya Jawa disampaikan dalam bentuk tembang
yaitu seni sastra yang dipadukan dengan seni suara. Perpaduan ini
menghasilkan sebuah kreasi yang dinamakan tembang
(sekar) macapat. Wacana tembung
macapat terbagi menjadi tiga yaitu Wacana Tripama, Wulangreh dan Kalathida.
Pemimpin
ideal yang dijelaskan dalam tiga wacana diatas adalah sebagai berikut :
1. Hendaklah
para pemimpin negara bisa mempertimbangkan baik dan buruk
Disampaikan
dalam Wacana Kalathida tembang Sinom, Mangkya
darajating praja, kawuryan wus sunyaruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi
(kini martabat negara, tampak telah sirna, rusak oleh pelaksanaan aturan,
karena tanpa keteladanan)
2. Hendaklah
seorang pemimpin memiliki kemampuan lebih
Ketika
menjadi pemimpin hendaknya melaksanakan kepemimpinannya dengan baik, tidak lupa
diri sehingga tidak membuat runyam keadaan. Kalau tidak bisa melakukannya,
lebih baik tidak menjadi pemimpin.
3. Hendaklah
seorang pemimpin menjadi teladan bagi yang dipimpin
Pemimpin
harus mampu menjaga kewibawaan dengan menjaga sikap, mengendalikan perilaku
buruk dan menyatukan perbedaan dalam suatu negara.
4. Hendaklah
seorang pemimpin atau pejabat menjaga kehormatannya
5. Hendaklah
seorang pemimpin bijaksana dan adil
Wacana
Wulangreh tembang Asmarandana : Nadyan
sanak santaneki, yen leda ya tinatrapan, murwaten lawan dosane, darapon padha
wediya, ing wuri aywa leda (Walaupun sanak saudarapun, kalau tidak serius
hukumlah, pertimbangkan kesalahannya, sehingga mereka takut, dibelakang hari
jangan terlena lagi). Pemimpin harus melakukan peraturan yang berlaku secara
adil dan bijaksana dalam memimpin anak buahnya bekerja.
6. Hendaklah
seorang pemimpin luas pengetahuannya
7. Hendaklah
para pemimpin suatu negara mampu memberantas keangkaramurkaan
8. Hendaklah
para pemimpin suatu negara dapat menciptakan kedamaian dan kesejahteraan
pemerintahan dan rakyatnya
9. Hendaklah
para pemimpin bisa mati sajroning urip
Mati sajroning urip memiliki
pengertian bahwa pemimpin harus meninggalkan sifat-sifat keduniawian dengan
selalu memohon kepada Allah SWT, agar negara yang dipimpinnya terhindar dari bencana
dan keangkaramurkaan sehingga tercipta negara yang aman dan tentram.
Dari
ciri-ciri diatas, turut merujuk pada Ramalan Jayabaya mengenai Satria Piningit. Satria Piningit digambarkan sebagai seorang
pemimpin yang lahir dan menempa diri dalam suasana tak berujung. Mampu berperan
aktif dalam memecahkan masalah dan mewujudkan tujuan, penuh terobosan dan mudah
mendapat kepercayaan. Karakteristik lain adalah mampu memilah yang benar dan
salah, bergerak cepat dan memiliki ide-ide brilian. Jika ia memutuskan sesuatu
demi kepentingan publik, ia tidak takut akan ancaman dan tidak peduli akan
pujian. Inilah pemimpin yang diharapkan rakyat, pemimpin yang mumpuni dan mampu
mengorganisir setiap orang dengan patokan bekerja bersama-sama. Mereka adalah
pemimpin yang merangkak dari bawah, dari jalan terjal dan berjuang hanya untuk
memberi dan mengabdi dengan ikhlas demi rakyat yang dipimpinnya.
Sumber Referensi
:
Tomo,
Suwidi. 2015. Kasihan Bangsa Ini :
Himpunan Artikel Di Harian Kompas. Depok : Vision03
Setiyadi,
Dwi Bambang Putut. 2012. Kajian Wacana
Tembang Macapat : Struktur, Fungsi, Makna, Sasmita, Sistem Kognisi, dan
Kearifan Lokal Etnik Jawa. Yogyakarta : Media Perkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar