Hujan Turun Dengan Santun Seperti Makna Pada Kata Yang Tersimpan Rahasia.

Sabtu, 26 November 2016

Pemimpin Ideal Menurut Konsepsi Jawa



Rakyat sebagai bagian utama dalam sebuah negara memiliki harapan besar pada pemimpinnya untuk mewujudkan kehidupan yang makmur dan sejahtera. Lewat antusias jalan demokrasi maupun otokrasi yang memunculkan pemimpin-pemimpin baru dalam tangkup orde yang berbeda saling bersaing menerapkan kebijakan demi kemakmuran rakyatnya. Namun sayangnya, harapan rakyat masih banyak yang sirna karena janji-janji yang diumbar hanya sebatas kertas kosong tanpa tinta. Harapan rakyat seakan dilalaikan dengan dalih berbagi kepentingan substantif.
Dewasa ini, kita memerlukan seorang pemimpin yang tidak mudah berjanji tetapi cukup memberi bukti di lapangan dengan pengabdian kepada masyarakat dan bangsa. Banyak tokoh teladan yang diperlukan untuk membangun sebuah sinergi dalam menguatkan tonggak
kepemimpinan sehingga dapat membangkitkan tekad untuk memecahkan begitu banyak kebuntuan dengan perencanaan yang terencana dan terukur.
Figur teladan yang mampu merangkum cita-cita dan tujuan bangsa sesuai UUD 1945, mengobarkan semangat dalam membangkitkan harkat martabatnya harus mendapatkan dukungan berbagai kalangan. Kita tidak bisa menggantungkan harapan hanya kepada seorang presiden karena sebuah negara terlalu luas, besar dan multidimensi jika hanya dipimpin oleh satu orang, sebaik apapun orang itu memimpin. Sehingga diperlukan sinergi yang kuat antar berbagai komponen untuk mewujudkan pemerintahan yang sesuai.
Sayangnya, hingga saat ini belum nampak sosok pemimpin yang mampu merangkum kebhinekaan bangsa dan membangkitkan semangat ingin maju. Masyarakat masih mengharapkan adanya pemimpin ideal yang mampu membawa mereka menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Penyebab belum munculnya pemimpin ideal ini adalah :
Pertama, perbedaan jenis para politikus generasi 1945 dengan generasi sekarang. Suwidi Tomo (2013) pernah menulis “......kancah politik kita banyak diisi mereka yang mengejar moonlight: hasrat kuasa, kaya, kondang, dengan cara menerabas kepatutan. Mereka adalah jenis politisi medioker, oportunis, miskin kapasitas dan integritas mendominasi.” Dari kacamata tersebut tentu kita akan sepakat bahwa realitas saat ini memang benar adanya. Banyak politisi yang hanya mengandalkan popularitas sehingga dengan ala kadarnya berani maju menjadi calon pemimpin masyarakat. Hasilnya, target-target pembangunan tidak tercapai dan merebak ketimpangan sosial di masyarakat.
Kedua, masalah instrumen demokrasi yang maju menjadi wakil rakyat kebanyakan hanya wakil partai yang disodorkan oleh partai politik. Tatkala kondisi kepartaian saat ini terus menimbulkan polemik berupa perselisihan, egoisme antar golongan dan mementingkan anggota dan kelompok, mereka terus menghasilkan kader-kader calon pemimpin. Pemenangan pun hanya mengandalkan nama besar kepartaian dengan sokongan dana maksimal. Jika asal muasal calon pemimpin dilahirkan dari tempat yang penuh keruwetan maka hasilnya juga akan sama saja, pemimpin lebih mementingkan partai karena adanya ketergantungan satu sama lain.
Ketiga, persekongkolan antar penguasa dengan pengusaha dalam membuat kebijakan. Kebijakan yang seharusnya pro-rakyat berubah menjadi kebijakan yang merugikan rakyat. Hal ini dapat terlihat dari sejumlah kebijakan-kebijakan pemerintah seperti impor, kepentingan pihak asing dan lainnya. Hal ini menimbulkan dampak dimana kaum borjuis makin senang sementara kaum proletar semakin terhimpit dengan keadaan yang demikian. Masyarakat yang sudah susah menjadi lebih susah dengan adanya hal semacam ini.
Keempat, sifat munafik dan culas yang merebak di kalangan pemimpin. Krisis identitas dan sifat yang wajib dimiliki seorang pemimpin membuat hilangnya makna sesungguhnya dari seorang pemimpin. Agama yang dimiliki hanya dijadikan kedok dalam memimpin. Aksi memperkaya diri terus dilakukan tanpa menghiraukan rakyat yang kelaparan, korupsi merajalela dan pemborosan adalah hal yang biasa. Sikap seperti itu tidak seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin.
Dari persoalan-persoalan diatas, timbul tanda tanya besar dibenak masyarakat tentang bagaimana sesungguhnya pemimpin ideal itu. Spekulasi dari berbagai pihak mulai bermunculan mengenai sosok pemimpin yang didambakan oleh masyarakat. Disaat masyarakat mulai mencari karakter dan ciri-ciri pemimpin ideal, sesungguhnya hal ini sudah terlebih dahulu diejawantahkan dalam Filosofi Jawa.
Etnik Jawa merupakan etnik yang memiliki naskah-naskah kuno yang ditulis oleh para leluhur etnik jawa yang mengandung pesan-pesan pendidikan budi pekerti/ karakter kepada keturunannya (Dwi Bambang Putut Setiyadi, 2012). Nilai-nilai teladan ini dalam budaya Jawa disampaikan dalam bentuk tembang yaitu seni sastra yang dipadukan dengan seni suara. Perpaduan ini menghasilkan sebuah kreasi yang dinamakan tembang (sekar) macapat.  Wacana tembung macapat terbagi menjadi tiga yaitu Wacana Tripama, Wulangreh dan Kalathida.
Pemimpin ideal yang dijelaskan dalam tiga wacana diatas adalah sebagai berikut :
1.      Hendaklah para pemimpin negara bisa mempertimbangkan baik dan buruk
Disampaikan dalam Wacana Kalathida tembang Sinom, Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi (kini martabat negara, tampak telah sirna, rusak oleh pelaksanaan aturan, karena tanpa keteladanan)
2.      Hendaklah seorang pemimpin memiliki kemampuan lebih
Ketika menjadi pemimpin hendaknya melaksanakan kepemimpinannya dengan baik, tidak lupa diri sehingga tidak membuat runyam keadaan. Kalau tidak bisa melakukannya, lebih baik tidak menjadi pemimpin.
3.      Hendaklah seorang pemimpin menjadi teladan bagi yang dipimpin
Pemimpin harus mampu menjaga kewibawaan dengan menjaga sikap, mengendalikan perilaku buruk dan menyatukan perbedaan dalam suatu negara.
4.      Hendaklah seorang pemimpin atau pejabat menjaga kehormatannya
5.      Hendaklah seorang pemimpin bijaksana dan adil
Wacana Wulangreh tembang Asmarandana : Nadyan sanak santaneki, yen leda ya tinatrapan, murwaten lawan dosane, darapon padha wediya, ing wuri aywa leda (Walaupun sanak saudarapun, kalau tidak serius hukumlah, pertimbangkan kesalahannya, sehingga mereka takut, dibelakang hari jangan terlena lagi). Pemimpin harus melakukan peraturan yang berlaku secara adil dan bijaksana dalam memimpin anak buahnya bekerja.
6.      Hendaklah seorang pemimpin luas pengetahuannya
7.      Hendaklah para pemimpin suatu negara mampu memberantas keangkaramurkaan
8.      Hendaklah para pemimpin suatu negara dapat menciptakan kedamaian dan kesejahteraan pemerintahan dan rakyatnya
9.      Hendaklah para pemimpin bisa mati sajroning urip
Mati sajroning urip memiliki pengertian bahwa pemimpin harus meninggalkan sifat-sifat keduniawian dengan selalu memohon kepada Allah SWT, agar negara yang dipimpinnya terhindar dari bencana dan keangkaramurkaan sehingga tercipta negara yang aman dan tentram.
Dari ciri-ciri diatas, turut merujuk pada Ramalan Jayabaya mengenai Satria Piningit.  Satria Piningit digambarkan sebagai seorang pemimpin yang lahir dan menempa diri dalam suasana tak berujung. Mampu berperan aktif dalam memecahkan masalah dan mewujudkan tujuan, penuh terobosan dan mudah mendapat kepercayaan. Karakteristik lain adalah mampu memilah yang benar dan salah, bergerak cepat dan memiliki ide-ide brilian. Jika ia memutuskan sesuatu demi kepentingan publik, ia tidak takut akan ancaman dan tidak peduli akan pujian. Inilah pemimpin yang diharapkan rakyat, pemimpin yang mumpuni dan mampu mengorganisir setiap orang dengan patokan bekerja bersama-sama. Mereka adalah pemimpin yang merangkak dari bawah, dari jalan terjal dan berjuang hanya untuk memberi dan mengabdi dengan ikhlas demi rakyat yang dipimpinnya.

Sumber Referensi :
Tomo, Suwidi. 2015. Kasihan Bangsa Ini : Himpunan Artikel Di Harian Kompas. Depok : Vision03
Setiyadi, Dwi Bambang Putut. 2012. Kajian Wacana Tembang Macapat : Struktur, Fungsi, Makna, Sasmita, Sistem Kognisi, dan Kearifan Lokal Etnik Jawa. Yogyakarta : Media Perkasa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menunggu Senja Turun Dengan Santun