Hujan Turun Dengan Santun Seperti Makna Pada Kata Yang Tersimpan Rahasia.

Sabtu, 26 November 2016

Kita, Jong Indonesia




Pertengahan Oktober Tahun 1928, dalam siang yang teduh di sebuah rumah sederhana beratap genteng yang sudah banyak berlubang, semua pemuda dari seluruh penjuru Nusantara memutuskan untuk berkumpul. Sugondo Djojopoespito dari Jong Java merupakan orang yang mencetuskan ide agar mereka semua berkumpul. Dia adalah orang yang paling ramah dan senang bersosialisasi.
“Jika seperti ini kan enak, menyenangkan bukan. Kita bisa berkumpul , mengenal satu sama lain dengan lebih dekat. Kita bisa berbincang tentang perjuangan kita, langkah-langkah meraih kemerdekaan, atau bercerita tentang keindahan kampung halaman kita,
pokoknya kita disini senang-senang.
Sugondo awalnya kesulitan untuk mengumpulkan semua perkumpulan etnis di nusantara karena ada yang jaraknya jauh dan ada yang jaraknya dekat, namun akhirnya mereka semua memutuskan untuk berkumpul di Batavia, tepat di pusat perdagangan Hindia Belanda.
Perkumpulan itu berjalan lancar di awal. Semua saling bersalaman, menyapa dan menebar senyum satu sama lain. Mereka saling duduk melingkar, berbicara panjang dan berhenti saat hidangan datang.
“Silahkan dinikmati, kawan-kawanku semua” Sugondo mempersilahkan dengan perasaan haru dan bahagia atas keakraban mereka.
Seorang koki terkenal peranakan tionghoa berbaik hati menghidangkan opor ayam dengan balutan bumbu-bumbu tradisional yang khas kepada semua hadirin. Ketika Yamin dari Jong Sumatranan Bond meminta Jong Pasundan untuk mengoper hidangan tersebut, kelompok Jong Pasundan tidak mendengar. Semua anggota Jong Sumatranan Bond berpikir bahwa Jong Pasundan sengaja mengabaikan permintaannya, meski setelah Jong Pasundan meminta maaf dan berkata bahwa mereka sungguh tidak mendengar ketika Jong Sumatranan Bond memintanya untuk mengoper hidangan opor ayam.
“Hah, aku sulit percaya bualanmu”, teriak Yamin dari Jong Sumatranen Bond dengan nada tinggi hingga semua anggota Jong Pasundan mendengarnya. Bahkan semua yang lain ikut mendengar perkataan tersebut.
Salah satu anggota Jong Pasundan pun membalas dengan ketus “ yah setidaknya kelompok kami makan dengan sopan, tidak serampangan seperti etnismu itu. Dengar bung, ini di kota, perkumpulan besar, tinggalkan semua adat kebiasaaan jelekmu itu di rumah panggungmu“
Semua anggota Jong Sumatranan Bond kontan marah mendengar ucapan tersebut . Memang, keadaan Pulau Jawa berbeda jauh dengan pulau-pulau lain terlebih Pulau Sumatera. Orang-orang jawa lebih mengenal sopan santun yang lebih baik dan akibat dari penjajahan Belanda, membuat Pulau Jawa lebih baik pembangunannya dari pulau-pulau lain di Indonesia karena sebagian besar kegiatan Belanda dipusatkan di Jawa. Hadirnya Jong Sumatranan Bond pada perkumpulan tersebut karena mereka berusaha menepis rumor jika orang Sumatera juga sama beradab baik dengan orang jawa. Dan sebenarnya, orang jawa pun tahu bahwa orang sumatera tak kalah sopannya dengan orang jawa.
“Kau salah besar dan kau juga tahu itu, Kami juga punya sopan santun!” teriak Yamin, ketua Jong Sumatranan Bond dengan geram.
Jong Java  dan  Jong Madura dengan cepat membela kawan baik mereka, Jong Pasundan karena mereka sama-sama beretnis jawa. Mereka lantas mengumandangkan cerita-cerita sejarah masa lalu yang para orang tua biasa lontarkan bagi orang-orang Sumatera. “ Orang Sumatra dan orang-orang luar pulau jawa tahunya hanya hutan dan laut. Sikapnya juga seperti hiu dan kera. Tak ada sopan santunnya.”
Setelah itu, semua etnis yang hadir dalam pertemuan tersebut ikut berteriak. Jong Java diejek dengan sebutan “lambat” oleh Jong Ambon dan gara-gara itu Jong Java mengejek Jong Ambon dengan sebutan “keras kepala” . Lantas, Jong Batak juga ikut tersinggung atas perkataan tersebut. Maka Jong Batak lantas berteriak dan mengumumkan bahwa Jong Batak memiliki strata lebih tinggi dari jong-jong lain di pertemuan tersebut. Kemudian pernyataan tersebut membuat semua jong protes dan saling melebihkan jong masing-masing dan saling berteriak dengan ejekan yang tak enak di dengar. Sugondo pun hingga dibuat tidak tahu bagaimana cara menyudahi pertengkaran tersebut.
Maka siang yang teduh itu berubah jadi siang yang panas dengan urat nadi yang makin mengeras.
Tiba-tiba dari pintu utama, berjalan seorang pria, masuk sambil memegang biola. Dari mana dia datang. Dari etnis mana ia berasal. Apa yang akan ia lakukan. Memang ada banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan tentang seorang pria bersetelan jas putih yang sedang berjalan di tengah keriuhan dan kekacauan sambil memegang biola. Ia mengambil nafas panjang dan segera memainkan sebuah lagu dari biolanya tepat di depan panggung keriuhan. Suaranya terdengar sangat lirih, mengalun pelan hingga memenuhi ruangan.  Semua orang lalu terdiam dan menghentikan semua ejekan yang dilontarkan.
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya”
Setelah melantunkan lagu tersebut, pria bersetelan jas putih dan sepatu pantofel kulit tersebut menitikkan air mata. Berulang kali ia menyeka dengan sapu tangan yang dibawanya, berulang kali pula air mata terus membasahi mata dan pipinya. Semua hadirin dibuat tertegun pada lagu dan pria itu.
Sebuah suara yang berat, tegas namun nyaman didengar mulai bersua.“ Hadirin yang saya hormati, para pemuda dari Jong Java, Jong Sumatranan Bond, Jong Batak, Jong Pasundan, dan Jong Medan serta semua pemuda yang ada di ruangan ini. Apa kalian bisa merasakan beban perhatian yang diarahkan kepada kita sebagai pemuda oleh berpasang-pasang mata di penjuru nusantara. Apa kalian tahu mengapa Belanda selalu membatasi ruang gerak kita dan mengawasi setiap perkumpulan kita. Apa kalian tahu mengapa perjuangan kita selama ini belum menemui titik terang. Apa kalian tahu mengapa jong-jong terhormat di nusantara ini tidak bisa maksimal melakukan perjuangan. Dan satu-satunya jawaban yang dapat aku berikan adalah ini : ada begitu banyak perkumpulan di Indonesia ini, dari ujung timur sampai ujung barat, dari utara hingga selatan. Aku mengenali semua karakter dari kalian, potensi kalian tapi aku tidak pernah melihat persatuan kalian. Kita ini pada dasarnya sama, berdarah melayu berkulit coklat dan menetap di wilayah yang sama, Indonesia. Kita bukan Jong Pasundan, Jong Batak, Jong Java ataupun yang lain, karena kita adalah Jong Indonesia. Pemuda yang gagah berani membela kemerdekaan Indonesia. Mari kita sumbangsihkan tenaga dan pikiran kita dengan bersatu, berbangsa satu, berbahasa satu dan bertumpah darah satu untuk kemerdekaan Indonesia.” Teriak lantang Sugondo mengakhiri perkataannya dan sekaligus mengakhiri pertengkaran di pertemuan tersebut.

Semua hadirin terpaku dan menyesali apa yang telah mereka lakukan. Dan pada akhirnya, mereka memutuskan untuk membuat kongres pemuda se-Indonesia untuk bersatu demi kemerdekaan Indonesia.


Nb : Cerita ini hanya karangan belaka dan tidak bermaksud menyinggung etnis manapun atau bermuatan SARA. Tujuan penulis hanya ingin membangkitkan semangat pemuda untuk persatuan Indonesia


Biodata Diri
Nama                           : Ilham Zahrir
Spesialisasi                  : D3 Pajak
Kelas                           : 3-F
Nomor HP                   : 085647569766
Jenis Perlombaan         : Cerpen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menunggu Senja Turun Dengan Santun