Pertengahan
Oktober Tahun 1928, dalam siang yang teduh di sebuah rumah sederhana beratap genteng
yang sudah banyak berlubang, semua pemuda dari seluruh penjuru Nusantara
memutuskan untuk berkumpul. Sugondo Djojopoespito dari Jong Java merupakan
orang yang mencetuskan ide agar mereka semua berkumpul. Dia adalah orang yang
paling ramah dan senang bersosialisasi.
“Jika
seperti ini kan enak, menyenangkan bukan. Kita bisa berkumpul , mengenal satu
sama lain dengan lebih dekat. Kita bisa berbincang tentang perjuangan kita,
langkah-langkah meraih kemerdekaan, atau bercerita tentang keindahan kampung
halaman kita,
pokoknya kita disini senang-senang.
Sugondo
awalnya kesulitan untuk mengumpulkan semua perkumpulan etnis di nusantara
karena ada yang jaraknya jauh dan ada yang jaraknya dekat, namun akhirnya
mereka semua memutuskan untuk berkumpul di Batavia, tepat di pusat perdagangan Hindia
Belanda.
Perkumpulan
itu berjalan lancar di awal. Semua saling bersalaman, menyapa dan menebar senyum
satu sama lain. Mereka saling duduk melingkar, berbicara panjang dan berhenti
saat hidangan datang.
“Silahkan
dinikmati, kawan-kawanku semua” Sugondo mempersilahkan dengan perasaan haru dan
bahagia atas keakraban mereka.
Seorang
koki terkenal peranakan tionghoa berbaik hati menghidangkan opor ayam dengan
balutan bumbu-bumbu tradisional yang khas kepada semua hadirin. Ketika Yamin
dari Jong Sumatranan Bond meminta Jong Pasundan untuk mengoper hidangan
tersebut, kelompok Jong Pasundan tidak mendengar. Semua anggota Jong Sumatranan
Bond berpikir bahwa Jong Pasundan sengaja mengabaikan permintaannya, meski
setelah Jong Pasundan meminta maaf dan berkata bahwa mereka sungguh tidak mendengar
ketika Jong Sumatranan Bond memintanya untuk mengoper hidangan opor ayam.
“Hah,
aku sulit percaya bualanmu”, teriak Yamin dari Jong Sumatranen Bond dengan nada
tinggi hingga semua anggota Jong Pasundan mendengarnya. Bahkan semua yang lain
ikut mendengar perkataan tersebut.
Salah
satu anggota Jong Pasundan pun membalas dengan ketus “ yah setidaknya kelompok
kami makan dengan sopan, tidak serampangan seperti etnismu itu. Dengar bung,
ini di kota, perkumpulan besar, tinggalkan semua adat kebiasaaan jelekmu itu di
rumah panggungmu“
Semua
anggota Jong Sumatranan Bond kontan marah mendengar ucapan tersebut . Memang,
keadaan Pulau Jawa berbeda jauh dengan pulau-pulau lain terlebih Pulau Sumatera.
Orang-orang jawa lebih mengenal sopan santun yang lebih baik dan akibat dari
penjajahan Belanda, membuat Pulau Jawa lebih baik pembangunannya dari
pulau-pulau lain di Indonesia karena sebagian besar kegiatan Belanda dipusatkan
di Jawa. Hadirnya Jong Sumatranan Bond pada perkumpulan tersebut karena mereka
berusaha menepis rumor jika orang Sumatera juga sama beradab baik dengan orang
jawa. Dan sebenarnya, orang jawa pun tahu bahwa orang sumatera tak kalah
sopannya dengan orang jawa.
“Kau
salah besar dan kau juga tahu itu, Kami juga punya sopan santun!” teriak Yamin,
ketua Jong Sumatranan Bond dengan geram.
Jong
Java dan Jong Madura dengan cepat membela kawan baik
mereka, Jong Pasundan karena mereka sama-sama beretnis jawa. Mereka lantas
mengumandangkan cerita-cerita sejarah masa lalu yang para orang tua biasa
lontarkan bagi orang-orang Sumatera. “ Orang Sumatra dan orang-orang luar pulau
jawa tahunya hanya hutan dan laut. Sikapnya juga seperti hiu dan kera. Tak ada
sopan santunnya.”
Setelah
itu, semua etnis yang hadir dalam pertemuan tersebut ikut berteriak. Jong Java
diejek dengan sebutan “lambat” oleh Jong Ambon dan gara-gara itu Jong Java
mengejek Jong Ambon dengan sebutan “keras kepala” . Lantas, Jong Batak juga
ikut tersinggung atas perkataan tersebut. Maka Jong Batak lantas berteriak dan
mengumumkan bahwa Jong Batak memiliki strata lebih tinggi dari jong-jong lain
di pertemuan tersebut. Kemudian pernyataan tersebut membuat semua jong protes
dan saling melebihkan jong masing-masing dan saling berteriak dengan ejekan
yang tak enak di dengar. Sugondo pun hingga dibuat tidak tahu bagaimana cara
menyudahi pertengkaran tersebut.
Maka
siang yang teduh itu berubah jadi siang yang panas dengan urat nadi yang makin
mengeras.
Tiba-tiba
dari pintu utama, berjalan seorang pria, masuk sambil memegang biola. Dari mana
dia datang. Dari etnis mana ia berasal. Apa yang akan ia lakukan. Memang ada
banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan tentang seorang pria bersetelan jas
putih yang sedang berjalan di tengah keriuhan dan kekacauan sambil memegang
biola. Ia mengambil nafas panjang dan segera memainkan sebuah lagu dari
biolanya tepat di depan panggung keriuhan. Suaranya terdengar sangat lirih,
mengalun pelan hingga memenuhi ruangan. Semua
orang lalu terdiam dan menghentikan semua ejekan yang dilontarkan.
“Indonesia
tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya”
Setelah
melantunkan lagu tersebut, pria bersetelan jas putih dan sepatu pantofel kulit
tersebut menitikkan air mata. Berulang kali ia menyeka dengan sapu tangan yang
dibawanya, berulang kali pula air mata terus membasahi mata dan pipinya. Semua
hadirin dibuat tertegun pada lagu dan pria itu.
Sebuah suara
yang berat, tegas namun nyaman didengar mulai bersua.“ Hadirin yang saya
hormati, para pemuda dari Jong Java, Jong Sumatranan Bond, Jong Batak, Jong
Pasundan, dan Jong Medan serta semua pemuda yang ada di ruangan ini. Apa kalian
bisa merasakan beban perhatian yang diarahkan kepada kita sebagai pemuda oleh
berpasang-pasang mata di penjuru nusantara. Apa kalian tahu mengapa Belanda
selalu membatasi ruang gerak kita dan mengawasi setiap perkumpulan kita. Apa
kalian tahu mengapa perjuangan kita selama ini belum menemui titik terang. Apa
kalian tahu mengapa jong-jong terhormat di nusantara ini tidak bisa maksimal
melakukan perjuangan. Dan satu-satunya jawaban yang dapat aku berikan adalah
ini : ada begitu banyak perkumpulan di Indonesia ini, dari ujung timur sampai
ujung barat, dari utara hingga selatan. Aku mengenali semua karakter dari
kalian, potensi kalian tapi aku tidak pernah melihat persatuan kalian. Kita ini
pada dasarnya sama, berdarah melayu berkulit coklat dan menetap di wilayah yang
sama, Indonesia. Kita bukan Jong Pasundan, Jong Batak, Jong Java ataupun yang
lain, karena kita adalah Jong Indonesia. Pemuda yang gagah berani membela kemerdekaan
Indonesia. Mari kita sumbangsihkan tenaga dan pikiran kita dengan bersatu,
berbangsa satu, berbahasa satu dan bertumpah darah satu untuk kemerdekaan
Indonesia.” Teriak lantang Sugondo mengakhiri perkataannya dan sekaligus
mengakhiri pertengkaran di pertemuan tersebut.
Semua hadirin
terpaku dan menyesali apa yang telah mereka lakukan. Dan pada akhirnya, mereka
memutuskan untuk membuat kongres pemuda se-Indonesia untuk bersatu demi
kemerdekaan Indonesia.
Nb
: Cerita ini hanya karangan belaka dan tidak bermaksud menyinggung etnis
manapun atau bermuatan SARA. Tujuan penulis hanya ingin membangkitkan semangat
pemuda untuk persatuan Indonesia
Biodata Diri
Nama : Ilham Zahrir
Spesialisasi : D3 Pajak
Kelas : 3-F
Nomor HP : 085647569766
Jenis Perlombaan : Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar