Hujan Turun Dengan Santun Seperti Makna Pada Kata Yang Tersimpan Rahasia.

Sabtu, 26 November 2016

Entah Kenapa Ia...



motivasi.indocoms.com
Seorang anak kecil dengan celana yang robek di pantatnya, meringkuk sendirian di bawah guyuran hujan. Tampaknya ia sama sekali tak peduli dengan petir yang menyambar atau bahkan halilintar yang membuat bulu kuduk bergetar saat menggelegar. Hanya sebatang pohon beringin yang besar yang menemaninya. Pohon itu tampak sangat kokoh, dengan akar-akarnya yang merembet ke setiap dahan pohon lain di sekitarnya dan akar lainnya menjulur sebesar lengan orang dewasa. Masih saja, dari saat hujan datang hingga cuaca mulai terang, ia tak beranjak dari pohon itu.

Dari kejauhan, datang seorang ibu dengan menenteng belanjaan menghampiri anak tersebut. Hatinya tergerak ketika dari kejauhan ia mendengar isak tangis yang tersedu-sedu seperti kawanan lebah yang menyerang pengganggu. Dengan langkah yang bimbang, ibu itu mulai berjalan, tampaknya ia juga khawatir dengan keadaan anak tersebut. Saat ia sudah sejajar dengan anak tersebut, ia mulai berkata dalam kalimat yang halus dan penuh makna
“Adik, kenapa kamu disini? Mari pulang. Akan aku antar kamu ke orang tuamu. Dimana rumah ? “
Masih dengan suara tangisnya, si anak menjawab dengan sesenggukan,
“Ibu mau mengajakku kemana? Rumah? Ini rumahku ub, ini juga orang tuaku”
“Hah, bagaimana bisa? Itu pohon, nak. Kamu tahu betul kan deskripsi rumah dan orang tua yang sebenarnya?”
Pelan-pelan dengan menghirup nafas yang panjang, anak tersebut kembali menimpali pertanyaan ibu itu,
“Saya tahu bu, Rumah adalah tempat berlindung bukan, dan orang tua ialah pemberi kehangatan. Disini sama saja bu, saya merasa terlindungi dan merasa hangat”
Masih dengan perasaan heran atas etiap kata yang dilontarkan anak tersebut, ibu tersebut kembali bertanya
“lalu, kenapa engkau menangis?”
“aku menangis karena hujan, bu. Aku sangat takut pada hujan. Apalagi petir yang menyambar-nyambar tadi dan halilintar yang menggelegar. Aku takut, bu jadi aku menangis” jawab anak itu dengan tenang karena hujan sudah mulai reda.
Sungguh aneh anak ini, batin sang ibu. Ibu itu lalu berpikir apakah anak ini gila? Atau ia memiliki kelainan genetik yang membuatnya spesial? Ah itu hanya prasangkakku saja.
Lalu tiba-tiba anak itu melontarkan pertanyaan kepada ibu tersebut’
“Dimana rumah ibu? Kenapa ibu tidak segera pulang? Bukankah ibu memiliki keluarga?”
“Tentu saja aku punya keluarga, ada suamiku dan anakku 3 orang laki-laki semua. Tadi saya dari pasar membeli semua bahan-bahan masakan untuk keluargaku. Aku tidak harus buru-buru pulang karena toh jika aku pulang cepat tidak ada siapa-siapa dirumah. Suamiku pulang malam dan anak-anakku sudah merantau ke negeri luar untuk menjemput masa depan. Membahagiakan bukan? “
“Lalu, dimana kehangatan mu, bu? Bukankah aku tadi mengatakan keluarga sebagai kehangatan? Ibu mengira aku orang gila, bukan? Karena duduk di bawah pohon sendirian. Dengar ibu, pohon ini adalah pohon kehangatanku saat aku, ibu dan bapakku saling melempar senyum,mengumpulkan receh-demi receh untuk membeli bibit pohon ini. Kami siram setiap hari setelah pulang dari aktivitas kami masing-masing. Namun, sekarang tinggal saya bu, bapak ibu saya sudah menjelma menjadi roh pohon ini saat ia tertembak bedil para tentara yang mengira mereka PKI. Disini aku temukan kehangatan, bu. Jadi jangan mengira aku ini gila atau cacat mental”
Ibu tersebut lalu terdiam. Bibirnya bergetar, dan air mata mulai merembes melewati pipi lalu menetes ke keranjang bawaannya yang ia taruh di depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menunggu Senja Turun Dengan Santun