motivasi.indocoms.com |
Seorang
anak kecil dengan celana yang robek di pantatnya, meringkuk sendirian di bawah
guyuran hujan. Tampaknya ia sama sekali tak peduli dengan petir yang menyambar
atau bahkan halilintar yang membuat bulu kuduk bergetar saat menggelegar. Hanya
sebatang pohon beringin yang besar yang menemaninya. Pohon itu tampak sangat
kokoh, dengan akar-akarnya yang merembet ke setiap dahan pohon lain di
sekitarnya dan akar lainnya menjulur sebesar lengan orang dewasa. Masih saja,
dari saat hujan datang hingga cuaca mulai terang, ia tak beranjak dari pohon
itu.
Dari
kejauhan, datang seorang ibu dengan menenteng belanjaan menghampiri anak
tersebut. Hatinya tergerak ketika dari kejauhan ia mendengar isak tangis yang
tersedu-sedu seperti kawanan lebah yang menyerang pengganggu. Dengan langkah
yang bimbang, ibu itu mulai berjalan, tampaknya ia juga khawatir dengan keadaan
anak tersebut. Saat ia sudah sejajar dengan anak tersebut, ia mulai berkata
dalam kalimat yang halus dan penuh makna
“Adik,
kenapa kamu disini? Mari pulang. Akan aku antar kamu ke orang tuamu. Dimana
rumah ? “
Masih
dengan suara tangisnya, si anak menjawab dengan sesenggukan,
“Ibu
mau mengajakku kemana? Rumah? Ini rumahku ub, ini juga orang tuaku”
“Hah,
bagaimana bisa? Itu pohon, nak. Kamu tahu betul kan deskripsi rumah dan orang
tua yang sebenarnya?”
Pelan-pelan
dengan menghirup nafas yang panjang, anak tersebut kembali menimpali pertanyaan
ibu itu,
“Saya
tahu bu, Rumah adalah tempat berlindung bukan, dan orang tua ialah pemberi
kehangatan. Disini sama saja bu, saya merasa terlindungi dan merasa hangat”
Masih
dengan perasaan heran atas etiap kata yang dilontarkan anak tersebut, ibu
tersebut kembali bertanya
“lalu,
kenapa engkau menangis?”
“aku
menangis karena hujan, bu. Aku sangat takut pada hujan. Apalagi petir yang
menyambar-nyambar tadi dan halilintar yang menggelegar. Aku takut, bu jadi aku
menangis” jawab anak itu dengan tenang karena hujan sudah mulai reda.
Sungguh
aneh anak ini, batin sang ibu. Ibu itu lalu berpikir apakah anak ini gila? Atau
ia memiliki kelainan genetik yang membuatnya spesial? Ah itu hanya prasangkakku
saja.
Lalu
tiba-tiba anak itu melontarkan pertanyaan kepada ibu tersebut’
“Dimana
rumah ibu? Kenapa ibu tidak segera pulang? Bukankah ibu memiliki keluarga?”
“Tentu
saja aku punya keluarga, ada suamiku dan anakku 3 orang laki-laki semua. Tadi
saya dari pasar membeli semua bahan-bahan masakan untuk keluargaku. Aku tidak
harus buru-buru pulang karena toh jika aku pulang cepat tidak ada siapa-siapa
dirumah. Suamiku pulang malam dan anak-anakku sudah merantau ke negeri luar
untuk menjemput masa depan. Membahagiakan bukan? “
“Lalu,
dimana kehangatan mu, bu? Bukankah aku tadi mengatakan keluarga sebagai
kehangatan? Ibu mengira aku orang gila, bukan? Karena duduk di bawah pohon
sendirian. Dengar ibu, pohon ini adalah pohon kehangatanku saat aku, ibu dan
bapakku saling melempar senyum,mengumpulkan receh-demi receh untuk membeli
bibit pohon ini. Kami siram setiap hari setelah pulang dari aktivitas kami
masing-masing. Namun, sekarang tinggal saya bu, bapak ibu saya sudah menjelma
menjadi roh pohon ini saat ia tertembak bedil para tentara yang mengira mereka
PKI. Disini aku temukan kehangatan, bu. Jadi jangan mengira aku ini gila atau
cacat mental”
Ibu
tersebut lalu terdiam. Bibirnya bergetar, dan air mata mulai merembes melewati
pipi lalu menetes ke keranjang bawaannya yang ia taruh di depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar