Hujan Turun Dengan Santun Seperti Makna Pada Kata Yang Tersimpan Rahasia.

Rabu, 23 Maret 2016

Lapak Sarmili, Bekerja atau Dipekerjakan

Mendengar kata lapak, mungkin pikiran teman-teman pembaca adalah tempat berjualan pakaian, makanan, dengan keadaan yang seadanya dan terkesan kumuh. Namun, hal ini berbeda dengan tempat ini, Lapak Sarmili. Lapak Sarmili merupakan sebuah area atau kawasan yang dihuni oleh para perantau daerah yang sebagian besar berprofesi sebagai pemulung. Lapak yang berada di wilayah Sarmili, Kec. Pondok Aren, Bintaro, Tangerang Selatan (  Sebelah Barat Kampus PKN Stan) dihuni oleh sekitar 100 KK. Cukup ironis memang, melihat fakta bahwa kota besar yang menjanjikan seabrek kesempatan kerja dengan penghasilan yang cukup tinggi ternyata tidak mampu menampung sebagian besar perantau yang datang hanya dengan tangan kosong alias tanpa keterampilan. Tapi di kondisi seperti ini, rumor yang mengatakan bahwa kota besar selalu punya cara untuk mendapatkan uang dengan cara apapun, memang benar adanya.

Mereka, para pemulung, setiap minggu mampu mengumpulkan lebih dari 50 kg sampah botol plastik yang nantinya akan dijual setiap sebulan sekali. Jika kita hitung, untuk 1 kg sampah botol plastik berupa gelas bekas air mineral dibeli seharga Rp 3.500,00, sedangkan botol plastik bekas air mineral per kilogramnya dibeli seharga Rp 2.500,00 (sumber :http://www.harapanrakyat.com/2015/06/inilah-harga-penerimaan-bank-sampah-di-banjar/) sehingga apabila dihitung, maka pendapatan perbulan minimal yang didapat sebesar Rp 700.000,00. 

Namun, jangan sangka pendapatan itu untuk mereka sendiri. Lapak Sarmili adalah suatu tempat tinggal dengan sistem sewa, jadi setiap orang yang tinggal disitu harus mencari sampah alias memulung guna membayar sewa tempat tinggal, listrik dan air. Dari wawancara yang penulis lakukan, mereka boleh menempati tempat tersebut dengan membangun tempat tinggal sendiri namun harus bekerja dengan mengumpulkan sampah yang nantinya akan digunakan sebagai upah sewa lahan yang ditempati. 

Tahukah teman, sebagian besar yang bekerja bukanlah kepala keluarga tetapi istri dan anak-anak mereka. Di Lapak Sarmili, suami memiliki pekerjaan sendiri berupa buruh di sebuah pabrik, sehingga beban mengumpulkan sampah diberatkan kepada istri dan anak-anak mereka. Banyak anak-anak di Lapak Sarmili yang sudah putus sekolah, bukan karena tidak mampu membayar, tetapi lebih kepada mereka malas untuk belajar dan memilih mencari uang. Setiap pagi, anak-anak ikut mengumpulkan sampah bahkan pada malam harinya mereka menjadi tukang parkir dan pengemis. 

Sungguh ironis memang, tetapi begitulah kenyataannya. Di satu sisi mereka bekerja dan mendapatkan uang namun di sisi lain mereka dipekerjakan untuk membayar tempat tinggal. 

Perlu kebijaksaan pemerintah dalam menyikapi masalah ini, bukan semata karena lingkungan  yang terganggu dengan adanya mereka melainkan pada pola pikir perantau yang datang dengan modal nekat sehingga terpaksa mencari uang dengan cara yang kurang beretika. Semoga ada jalan keluar untuk masalah ini.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menunggu Senja Turun Dengan Santun